Keberadaan lembaga zakat sebagai salah satu institusi pengelola dana umat memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas sosial yang berkembang dimasyarakat. Kesenjangan sosial yang terkadang muncul dimasyarakat merupakan fenomena sosial yang begitu memprihatinkan. Hal ini jika tidak ditanggulangi akan berpotensi menjadi pemicu ledakan sosial atau bom sosial yang besar. Pemerataan ekonomi dan pembangunan merupakan salah satu isu krusial dalam pemberdayaan masyarakat. Parameter kesejahteraan masyarakat seringkali mendudukkan aspek penilaian finansial dalam poin penting, hal ini menegaskan bahwa penyelesaian permasalahan ekonomi umat merupakan hal yang tidak bisa dilupakan begitu saja.
Menjawab tantangan dan keterbutuhan akan berbagai macam hal diatas, maka berbagai macam upaya telah dilakukan pemerintah dan jajaran stakeholder terkait, namun masih belum optimal untuk menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena rumitnya pula aturan birokrasi yang ada di negeri ini. Karena itu diperlukan pihak ketiga yang berperan sebagai mitra pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi umat. Disinilah lembaga amil zakat (LAZ) menjalankan peran semaksimal mungkin sebagai mitra pemerintah dalam mengelola potensi zakat yang ada di masyarakat untuk menyejahterakan masyarakat.
Kenapa harus LAZ? Sebagai institusi yang memiliki wewenang menghimpun dana masyarakat secara legal formal, LAZ memiliki akses dalam mengambil pos-pos keuangan di masyarakat yang tidak terjangkau oleh pajak pemerintah. Potensi dana umat Islam yang terkumpul dari zakat merupakan solusi alternatif yang dapat didayagunakan bagi upaya penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia dan pemberdayaan ekonomi umat, yang tidak dapat terpecahkan dan teratasi hanya dengan dana APBN yang berasal dari penerimaan pajak maupun hutang luar negeri. Potensi ZIS (Zakat, Infaq dan Shodaqoh) dimasyarakat memang cukup besar, hal ini jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi sebuah hal yang merugikan. Keberadaan lembaga amil zakat, baik pemerintah atau independen, seharusnya bisa menjadi garda terdepan dalam inisiator pemberdayaan masyarakat dengan berbekal funding yang telah dikumpulkan. Potensi ZIS ini setidaknya merupakan sebuah aset penting yang belum banyak dimaksimalkan.
Babak baru pengelolaan ZIS di Indonesia telah dimulai menyusul disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat oleh pemerintah. UU ini dinilai cukup kontroversial karena menyebabkan beberapa pertentangan pada keberadaan dan wewenang LAZ itu sendiri. UU Pengelolaan Zakat inipun sekarang tengah dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi, tuntutan disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz). Sejatinya Komaz terdiri dari beberapa pihak atau lembaga yang selama ini sudah mengelola ZIS secara Independen diluar Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ataupun Badan Amil Zakat Daerah (Bazda). Menyikapi hal ini Kementerian Agama (Kemenag) tetap besikeras bahwa pengelolaan zakat harus melibatkan pemerintah. Menteri Agama, Suryadharma Ali, menilai tuntutan yang diajukan oleh Komaz, menunjukkan pihak yang bersangkutan tidak mampu melihat secara utuh pentingnya penertiban administrasi perzakatan.”Pelaporan zakat perlu penertiban. Sebab, memang seharusnya tak ada lembaga liar yang meng-collect zakat tanpa terdaftar,tegas Menteri Agama di Jakarta (JawaPos, 11 Oktober 2012).
Salah satu hal yang masih disorot adalah terkait tertib administrasi dari setiap lembaga zakat. Disinilah Profesionalitas lembaga zakat diuji, keberadaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakt sangat menguntungkan dari Sisi Administrasi, karena pertanggungjawaban keuangan LAZ yang rapi bisa menjadi modal utama kepercayaan publik. Sementara bagi pemerintah, pelaporan LAZ dapat digunakan sebagai parameter pengumpulan dana umat untuk ditindaklanjuti sebagai distribusi zakat nasional (JawaPos, 11 Oktober 2012). Aspek Profesionalitas dan Legal Formal memang menjadi dua hal yang disorot oleh publik untuk menghindari berbagai macam spekulasi dan persepi negatif tentang pola funding dana masyarakat. Mendudukkan LAZ sebagai lembaga yang akuntabel,mutlak harus dilakukan oleh segenap institusi zakat yang selama ini telah berkecimpung dalam mengelola zakat dimasyarakt. Disadari atau tidak, kekhawatiran sebagian kecil masyarakat akan penyelewengan dana ZIS ini masih tetap saja ada.
Terlepas dari berbagai macam problematika regulasi zakat, kita perlu mengingat kembali filosofi pengelolaan zakat. Zakat merupakan soko guru perekonomian Islam yang sejak lama telah diSyariatkan dan dikembangkan sejak zaman Rasulullah SAW. Menurut Prof. Ali Yafie zakat merupakan sendi utama realisasi keimanan seseorang , sama halnya dengan shalat karena menjadi salah satu bagian dari rukun Islam. Zakat memiliki dua mata sisi yang tak dapat dipisahkan . Pertama ada orang yang menerima zakat (Mustahik) kedua orang yang wajib membayar zakat (Muzakki). Sisi yang kedua itulah yang masuk dalam kategori arkanul Islam. Dimensi pertama hanya merupakan konsekuensi logis dari adanya sisi yang kedua. Dengan kata lain adanya pengumpulan zakat disebabkan karena adanya muzakki. Zakat juga memiliki muatan dimensi sosial dan moral (Akhlak), yaitu ajaran mengikis sifat serakah dan kikir yang ada pada diri manusia terhadap harta benda. Hal tersebut dipicu rasa cinta yang berlebihan terhadap harta benda. Sikap semacam ini manusia sebagaimana disinyalir dalam sebuah ayat “Wa uhdhiratul anfusus syukh…” dalam diri manusia cenderung menyimpan rasa pelit. Zakat merupakan ibadah maliyah yaitu pemberdayaan harta bendayang diberikan Allah kepada manusiayang digunakan untuk kepentingan bersama demikain halnya dengan aspek ekonimi. Zakat mengajak pada muara adanya kebersamaan untuk menikmati kesejahteraan sehingga timbul adanya pemerataan, kesamaan dan kebersamaan. Pada titik inilah kenikmatan hidup benar-benar terasa.(Kuakedewan,2011)
Perkembangan zakat di Indonesia saat ini memang cukup menggembirakan dengan lahirnya UU No 38 tahun 1999 tentang Zakat, disusul dengan lahirnya UU No 23 Tahun 2011, akan tetapi pelaksanaan dan pencapain apa yang menjadi tujuan UU tersebut belum optimal. Hal ini disebabkan karena zakat sampai saat ini masih dipahami hanya sebatas kegiatan mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Padahal inti (urgensi) dari kewajiban zakat lebih dari itu ada aspek pendidikn moral dan pemberdayaan ekonomi yang selama ini kurang dipahami oleh masyarakat zakat.
Hal menarik lain yang perlu dicermati adalah dinamika keberjalanan dunia perzakatan yang ada di Indonesia. Perkembangan perzakatan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga fenomena yang menarik. Pertama, penguatan kelembagaan amil zakat di tingkat nasional maupun lokal dengan variasi pencapaian yang perlu terus ditingkatkan. Kedua, kreatifitas program pemberdayaan zakat dalam rangkapenanggulanan kemiskinan dan permasalahan social kemanusiaan. Ketiga munculnya trend kerjasama antar lembaga pengelola zakat dan antar komunitas zakat di level regional asia tenggara. Dari tiga fenomena tersebut pada dasarnya mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan zakat dan optimalisasi pendayagunaannya.
Berikut sedikit gambaran model-model sistem dan pengelolaan zakat di Negara-negara Asia Tenggara; Pertama Malaysia; zakat tidak dikelola secara nasional. Pada 14 negara bagian di Malaysia masing-masing diberikan hak mengelola zakatnya sendiri. ada yang menngunakan satu pintu melalui baitul mal (badan pemerintah) dan ada yang swasta.
Ada empat kebijakan pemerintah Malaysia dalam hal pengelolaan zakat, pertama pemerintah merestui status hukum dan posisi pungutan pungutan zakat (PPZ) sebagai perusahaan murni yang khusus menghimpun dana zakat. kedua, mengizinkan PPZ mengambil 12,5% dari total pungutan zakat tiap tahun untuk membayar gaji pegawai dan biaya operasional. Ketiga, pemerintah menetapkan zakat menjadi pengurang pajak. Keempat, pemerintah menganggarkan dana guna membantu kegiatan baitu mal dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Kedua, model pengelolaan zakat di Singapura. Pengelolaan zakat di Singapura dilakukan dibawah koordinasi pemerintah melalui Majelis Ugama Islam
Ketiga, Model pengelolaan zakat Negara Brunai Darussalam, pengelolaan zakat di Brunai Darussalam ditangani oleh badan yang ditunjuk oleh pemerintah. Tetapi masalah kemiskinan di sana tidak menjadi tantangan bagi lembaga pengelola zakat.
Keempat, model pengelolaan zakat di Indonesia, pengelolaan zakat di Indonesia menurut UU No 38 tahun 1999 dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah. Disamping BAZ pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk murni atas prakarsa masyarakat atau swasta (Kuakedewan,2011). Keberadaan UU No 23 Tahun 2011 tentunya telah merevisi aturan ini, meskpun kita juga harus melihat apa putusan MK tentang uji materi yang kini tengah berlangsung.
Ada hal menarik yang perlu kita cermati disini bahwa zakat memegang posisi sentral dalam menjawab problematika sosial yang ada di Indonesia. Jika sosialis marxis mencoba memecahkan problem kemiskinan dengan cara memaksa para Aghniya` (borjuis) untuk turun menjadi miskin dan menjalani hidup susah bersama-sama, maka sistem Islam memberikan solusi dengan cara memberdayakan orang-orang miskin agar menjadi Aghniya` (orang kaya). Solusi alternatif dan strategis inilah yang ditawarkan oleh Islam melalui sistem zakat yang produktif dan kreatif. Pembeda nilai inilah batas pemisah antara ajaran Sosialisme modern dengan konsep Takaful (saling menanggung) dalam Islam. Inilah tanggungjawab besar yang mesti diemban oleh setiap lembaga zakat yang beroperasi dinegeri ini.