Cakrapedia,-
SITUBONDO, KOMPAS.com – Sebuah lokomotif uap terparkir di depan gedung tua di kompleks Pabrik Gula (PG) Olean, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (30/7/2016) sore.
Meski telah berusia puluhan tahun, lokomotif yg diberi nama “Semeru” itu masih kelihatan bersih dan terawat.
Dua gerbong kelihatan menempel di belakang lokomotif. Dari bentuknya, gerbong tersebut nampaknya tak digunakan bagi mengangkut tebu, karena dilengkapi tempat duduk penumpang.
Misgianto, sang masinis, kelihatan sedang menyiapkan potongan kayu buat bahan bahan bakar mesin lokomotif karena esok hari wisatawan mancanegara mulai menyewa lokomotif tersebut bagi mengelilingi kebun tebu.
Dibantu rekannya Rusmandono, Misgianto memeriksa sesuatu persatu komponen lokomotif yg dilengkapi cerobong uap besar di bagian depannya itu.
“Lokomotif ini telah sangat tua, lebih tua dari saya. Sama seperti orang tua, banyak penyakitnya,” kata warga asli Desa Olean Tengah, Kecamatan Situbondo ini.
Untuk menjalankan lokomotif uap tersebut, Misgianto harus akan membakar kayu-kayu tersebut sejak pagi.
Sebab, bahan bakar lokomotif harus dibakar setidaknya lima jam sebelumnya bagi memanaskan mesin.
“Kayunya harus kering semua, seandainya ada kayu yg basah, pembakaran bahan baku tak mulai maksimal,” jelas bapak sesuatu anak ini.
Misgianto telah 13 tahun bekerja di PG warisan kolonial yg kini dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI itu.
Dia memiliki tanggung jawab mengoperasikan dan memelihara lokomotif yg telah 10 tahun terakhir berubah fungsi dari pengangkut tebu menjadi sarana pengangkut wisatawan mancanegara yg berkunjung ke pabrik itu.
Misgianto juga yg terus menemani para wisatawan yg ingin mengelilingi kebun tebu dengan lokomotif uap.
“Hanya mengelilingi ke kebun-kebun warga sambil berfoto, sering sampai malam hari,” tuturnya.
Sebenarnya PG Olean memiliki tiga lokomotif uap. Namun beberapa unit lainnya telah tak mampu dioperasikan karena kerusakan yg telah terlalu parah akibat dimakan usia.
Bangkai kedua lokomotif tua tersebut disimoan di dalam gudang lokomotif yg terletak di belakang pabrik.
“Lagipula, pegawainya telah banyak yg pensiun. Tidak segala mampu mengoperasikan lokomotif uap,” tambah dia.
Sejak 10 tahun lalu, PG yg didirikan pemerintah Hindia Belanda pada 4 Agustus 1846 itu beralih memakai lokomotif diesel berbahan bakar solar bagi mengangkut tebu dari kebun.
Satu-satunya lokomotif uap yg tersisa kemudian cuma digunakan bagi sarana wisata.
Samuel Mahendra, seorang pegawai keuangan PG Olean menjelaskan, sebenarnya pabrik tak menyediakan khusus lokomotif uap tersebut bagi wisata, cuma saja terus ada permintaan dari wisatawan mancanegara meminjam lokomotif bagi mengelilingi kebun tebu.
“Akhirnya kalian pasang tarif Rp 2 juta buat mengelilingi kebun tebu dengan lokomotif uap,” katanya.
Tidak banyak memang turis yg menyewa lokomotif uap tersebut buat sarana wisata di kebun tebu.
Sejak awal 2016, tercatat cuma beberapa kunjungan wisata ke pabrik gula tersebut.
Lokasi strategis
Selama ini, seluruh pengunjung adalah wisatawan mancanegara khususnya dari Belanda. Mereka cuma ingin bernostalgia berkeliling kebun tebu dengan lokomotif uap, dan mengelilingi mengunjungi pabrik.
“Mereka cuma bernostalgia, bahwa bangsanya dahulu adalah pelopor pabrik gula dan mengelilingi kebun tebu dengan kereta lokomotif uap,” ujar Samuel.
Nantinya, kata Samuel, justru PG Olean mulai dijadikan pusat “Workshop Maintenance”. Karena PG Olean adalah pabrik gula yg kapasitasnya produksinya kecil, sehingga tenaga pegawainya difokuskan ke urusan perbaikan peralatan 17 PG punya PTPN XI.
Kapasitas produksi PG Olean cuma 1.100 ton per hari, jauh dibanding PG besar lainnya seperti PG Jatiroto Lumajang yg mencapai 7.500 ton per hari.
Produksi rata-rata gula setiap tahun mencapai total 3.500 ton, dan tetes tebu rata-rata 55 ton per tahun.
Saat dikelola pemerintah Hindia Belanda, PG yg memiliki areal lahan tebu cuma 50 hektare itu bernama Venoot Schap Phaiton Olean.
PG Olean terakhir menjadi punya Fa. Anemaet & Co.
Saat Indonesia merdeka, kepemilikan pabrik diambil alih pemerintah Indonesia dengan nama Pusat Perkebunan Negara.
PG Olean tercatat dua kali berganti nama seiring dinamika perkembangan politik dan pemerintahan Indonesia dan resmi dikelola PTPN XI sejak 11 Maret 1996.
Lokasi PG Olean yg berada cuma 3 kilometer dari pusat kabupaten Situbondo di jalur pantau utara Jawa Timur, dinilai sangat strategis oleh kalangan perusahaan wisata.
Lokasi tersebut berpotensi menjadi tujuan wisatawan dari Surabaya yg mulai melancong ke Banyuwangi.
“Rata-rata wisatawan mancanegara tiba dari Surabaya, tujuannya ke Bromo, dahulu ke Banyuwangi. Di PG Olean nanti mampu mampir, karena searah,” kata Dyah Ayu Tisnawati, CEO Biro Perjalanan Wisata Bayu Citra Persada.
Dia menyambut baik seandainya PTPN XI mengembangkan PG Olean sebagai destinasi wisata pabrik gula, karena selama ini di Jawa Timur belum ada wisata semacam itu.
“Syukur-syukur dapat melengkapi destinasi andalan wisatawan mancanegara yg ada selama ini selain Kawah Ijen, Gunung Bromo, dan Banyuwangi,” ujarnya.
Namun begitu kata dia, objek wisata pabrik gula Olean harus dikemas secara profesional dengan konsep yg jelas, dan tentu harus berbeda dengan destinasi wisata yg ada selama ini.
“Selain sarana dan prasarana serta promosi yg menarik, sumber daya manusia pengelolanya juga harus disiapkan,” kata dia.
Potensi masa depan
Potensi wisata agrobis dan “heritage” di PG Olean dianggap potensi bisnis masa depan PTPN XI dalam rangka diversifikasi usaha.
Konsep wisata yg sama kata Direktur Perencanaan dan Pengembangan PTPN XI, Aris Toharisman, juga diterapkan di PG Jatiroto di Kabupaten Lumajang.
“Di PG Jatiroto, menaiki lokomotif buat mengelilingi kebun tebu mungkin lebih leluasa, karena lahan kebun tebu di sana punya perusahaan,” katanya.
Diversifikasi usaha yg dimaksud adalah mengoptimalkan pendapatan perusahaan dari produk non-gula dalam rangka mengejar keuntungan perusahaan.
Saat ini kata Aris, sedang dikembangkan produksi listrik dari ampas tebu di PG Jatiroto Lumajang dan Asembagus Situbondo yg mulai dijual ke PT PLN.
Diversifikasi yg telah dikerjakan dengan memanfaatkan produk hilir tebu di antaranya etanol, alkohol, dan spirtus.
Upaya diversifikasi usaha tersebut juga buat mempersiapkan PTPN XI yg mulai menjadi perusahaan Go Publik pada 2017.
Tahun ini, perusahaan mengalokasikan dana Rp 1 triliun bagi diversifikasi usaha. Jumlah itu 10 kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Meski begitu, hasil diversifikasi dinilai masih belum banyak menyumbang keuntungan untuk PTPN XI.
“Masih di bawah Rp 1 triliun keuntungannya,” papar Aris.
Kementerian BUMN, sesuai arahan Presiden Jokowi, akhir-akhir ini menggalakkan diversifikasi pabrik gula dalam upaya swasembada gula 3-5 tahun ke depan serta bagi meningkatkan pendapatan petani.
Diversifikasi usaha pabrik gula dinilai sangat penting jika industri gula di Indonesia masih ingin berkembang.
“Jika cuma mengandalkan pendapatan dari gula tak mungkin, karena gula adalah komoditas yg pergerakan harganya terus diintervensi pemerintah,” kata Menteri BUMN, Rini Soemarno, belum lama ini.
Di luar negeri seperti Brasil, kata dia, pendapatan penting pabrik gula justru bukan dari produk gula, namun dari produk hilir seperti listrik dan sebagainya.
Sumber: http://travel.kompas.com