Beberapa hari terakhir ini media sosial dihebohkan dengan pidato dari Nara Masista, Diplomat muda Indonesia yang berbicara di forum sidang PBB tentang bantahan pada beberapa negara rumpun melanesia yang menggugat pelanggaran HAM di Papua dan beberapa isu lain yang hangat tentang papua. Pemaparan yang menarik, tegas, berani dan bernada superior disampaikan oleh Diplomat muda ini, sososk srikandi baru seolah telah terlahir dan menjaga marwah bangsa Indonesia di kancah diplomasi internasional. Nara berkata bahwa tidak selayaknya negara-negara kecil itu menggunakan sidang umum PBB untuk melanggar kedaulatan negara lain. “Kami menolak mentah-mentah sindiran-sindiran terus mereka yang tidak paham sejarah dan situasi yang progresif di Indonesia..” kata Nara ketika diwawancara.
Publik menyanjung, mengelukan bantahan Nara yang mewakili pemerintah Indonesia akan permasalahan Papua atas tuduhan negara-negara rumpun melanesia. Ada satu hal yang luput dari perhatian publik, Negara-negara ini memang negara-negara kecil. Namun mereka adalah negara dengan hak suara di PBB. Lantas atas pijakan apa permasalahan ini dibawa oleh Negara-negara Melanesia di bawa ke forum PBB ?
Permasalahan HAM di Papua merupakan salah satu persoalan yang disorot oleh dunia Internasional, dari sudut pandang Indonesia, tindakan terhadap kelompok separatis yang kadang diwarnai dengan kekerasansering dibilang adalah bentuk menjaga kedaulatan, tapi belum tentu dunia internasional sepemahaman dengan dengan hal ini. Tindakan kekerasan di Papua yang masih saja terjadi hingga saat ini memang sangat disayangkan.
Papua, yang terletak di perbatasan kawasan Asia dan Pasifi, terdiri dari dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Wilayah ini terus dilanda kasus pelanggaran HAM serta konflik yang berkepanjangan. Kondisi kehidupan penduduk asli Papua juga sangat berbeda bila dibandingkan dengan kondisi kehidupan para pendatang yang berasal dari wilayah lain di Indonesia.
Gereja-gereja di Papua dan organisasi-organisasi HAM mencatat adanya kenaikan jumlah kekerasan horizontal antara masyarakat asli Papua dan pendatang dalam kurun waktu 2013-2015. Polisi juga seringkali membiarkan atau mendukung kekerasan terhadap masyarakat Papua disertai dengan praktik penegakan hukum yang tidak adil. Kasus yang terjadi pada Pasar Yotefa, Abepura, pada tanggal 2 Juli 2014 menunjukkan bahwa polisi bekerja sama dengan sekelompok kaum transmigran dalam menyiksa seorang anggota masyarakat adat Papua. Hal diatas juga belum ditambah fakta pendukung lain tentang kondisi Papua yang masih miris. Para pengamat mencatat adanya penurunan pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan di daerah terpencil di dataran tinggi, dan juga di daerah lain di wilayah Papua. Berdasarkan data tahun 2012, angka kematian balita di daerah dataran tinggi di Papua mencapai 11,5 %. Angka tersebut hampir dua kali angka kematian balita di Papua Nugini. Jumlah tersebut tiga kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah rata-rata di Indonesia. Tidak ada negara di kawasan Asia atau Pasifi yang memiliki angka kematian balita setinggi angka di Papua.
Kembali pada persoalan kekerasan di Papua, Mengutip data dari ICP (International Coalition for Papua) dilatarbelakangi kasus sengketa tanah, eksploitasi sumber daya alam, dan pelanggaran HAM, aksi politik dan aspirasi kemerdekaan mulai mendapatkan dukungan. Kebebasan berpendapat, terutama terkait aspirasi politik atas status Papua, sangat dibatasi. Di akhir tahun 2014, setidaknya ada 55 tahanan politik di Papua. Pada tahun 2014, ada 15 kasus unjuk rasa yang tercatat. Jumlah ini hanyalah separuh dari jumlah yang tercatat pada tahun 2013. Sekitar 90% dari unjuk rasa tersebut berujung pada ratusan penangkapan politis. Pada tahun 2014, tercatat ada ratusan orang yang ditangkap terkait aksi unjuk rasa. Situasi buruk ini disebabkan tindakan represif yang sering dilakukan oleh aparat keamanan. Ketika ditangkap, penduduk asli Papua sering mengalami penyiksaan dan penganiayaan. Situasi serupa juga dialami oleh wartawan lokal Papua, yang diserang, diintimidasi dan dihalangi dalam melakukan kerja mereka. Jumlah kasus-kasus yang tercatat antara tahun 2013 dan 2014 hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia, tindakam-tindakan represif diatas tentu sangat disayangkan. Alih-alih menumbuhkan empati, tindakan represif justru akan semakin memperuncing semangat separatisme, karena keadilan dan kesejahteraan yang tidak kunjung ditemui di bumi Papua. Konflik Horisontal antar kelompok masyarakat juga acapkali terjadi, baik itu antara warga asli dengan warga pendatang, atau konflik sosial dengan motif keagamaan seperti tragedi Tolikara di tahun 2015.
Membicarakan kekerasan di Papua memang seperti mengurai benang kusut, ada banyak persoalan dilematis. Pemerintah Indonesia buka tidak memperhatikan Papua, adanya UU Otonomi khusus papua ataupun serangkaian kebijakan pembangunan lain sudah dilakukan untuk Papua. Namun kenapa dilapangan persoalan kesejahteraan masih menjadi poin besar yang mesti dibenahi. Hak kebebasan berpendapat juga menjadi semacama diberangus, apalagi jika terindikasi bernuansa separatis. Inilah yang melatarbelakangi penangkapan demi penangkapan terus terjadi di Papua oleh aparat pada masyarakat. Persoalan ini juga yang menjadi poin singgungan oleh Negara-negara Melanesia dalam sidang umum PBB kemarin.
Kesenjangan Sosial dan Pembangunan yang tak merata
Pemerintah Indonesia, di bawah hukum internasional, diwajibkan menyediakan standar kesehatan terbaik bagi warganya.1 Sebagai bagian dari status Otonomi Khusus Papua (OTSUS), pemerintah harus mengalokasikan sejumlah anggaran untuk peningkatan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, penyalahgunaan anggaran sering terjadi dalam skala besar. Hal ini, ditambah dengan buruknya pengelolaan, menyebabkan kelalaian dan kekosongan tenaga kesehatan. Kasus-kasus kematian dan beban penyakit yang merupakan akibat dari kurangnya pelayanan kesehatan di daerah pedalaman harus menjadi perhatian serius. Angka kematian ibu dan anak, serta prevalensi HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat masih yang tertinggi di Indonesia.
Survei demografi kesehatan Indonesia di tahun 2012 menunjukkan bawah angka kematian balita di Papua dan Papua Barat tiga kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional (115 berbanding 43 per 1000 kelahiran). Angka persalinan oleh tenaga kesehatan juga sekitar 30% lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Kendala utama yang dihadapi Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kematian ibu dan anak adalah ketimpangan pelayanan kesehatan, terutama di daerah timur Indonesia.
Program yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan didukung oleh Bank Dunia (2001-2003) untuk melatih dan menempatkan bidan di pedesaan belum menunjukkan dampak jangka panjang. Setelah program dan insentif untuk bidan-bidan tersebut berakhir, mereka meninggalkan desa di mana mereka ditempatkan. Munculnya distrik baru juga memperburuk situasi yang ada, karena banyak pos kesehatan yang tidak beroperasi. Ini berarti imunisasi, pengamatan dan penimbangan balita, pelayanan sebelum dan paska kelahiran, serta pengawasan faktor resiko kelahiran, tidak berfungsi atau jarang berfungsi di daerah pedesaan. Pelayanan ini hanya tersedia di daerah perkotaan, yang biasanya dikunjungi oleh kaum pendatang dan penduduk kota.
Bagaimana dengan Sektor Pendidikan, Selama beberapa tahun terakhir, sektor pendidikan di dataran tinggi Papua terus berkembang. Sekolah dan pusat kesehatan dibangun dan ribuan guru serta tenaga kesehatan dipekerjakan untuk melayani di daerah tersebut. Akan tetapi, beberapa area masih mengalami kekosongan pelayanan publik, yang menyebabkan angka melek huruf jatuh hingga kurang dari 10 persen di daerah-daerah terpencil. Besarnya permasalahan ini tidak pernah diakui dalam laporan resmi. Dampaknya pun sudah sangat diremehkan. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 di 40 desa di wilayah Wamena, Yahukimo, dan Yalimo menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang sulit diakses di daerah di dataran tinggi telah ditutup, karena selama beberapa tahun tidak ada lagi guru di sekolah-sekolah tersebut. Banyak guru yang seharusnya tinggal di daerah penugasan, malah memilih tinggal di daerah perkotaan, tetapi, mereka tetap menerima gaji dan tunjangan sebagai guru daerah terpencil. Beberapa guru hanya hadir sekali atau dua kali setahun untuk mengawasi ujian. Beberapa kepala sekolah juga absen, dan mempekerjakan guru bantu yang kurang berkualitas dengan gaji rendah dan tidak tetap. Walaupun penelitian ini dilakukan hanya di wilayah yang dihuni oleh sekitar 100.000 penduduk, tapi hal ini merupakan cerminan situasi di sebagian besar kabupaten di wilayah dataran tinggi
Ketika penulis berkesempatan berkunjung ke Timika salah satu distrik maju di Papua sangat terasa kendala pembangunan di Papua, Timika yang merupakan tempat bercokolnya Freeport. Memasuki kawasan Timika secara umum akan sangat berbeda dengan kawasan yang dikuasai oleh Freeport. Disaat jalan-jalan di Timika rusak atau berkualitas asal-asalan, maka jalan menuju dan dikawasan Freeport adalah jalan dengan kualitas aspal terbaik, setara dengan jalan Tol di Jakarta. Belum ditambah ketika memasuki kawasan Kuala Kencana , tempat sebagian karyawan Freeport tinggal, semakin berdecak kagum. Sangat Krontas dengan kawasan Timika yang lain, Kuala Kencana ini sangat mewah bahkan setara dengan pemukiman elit di kota besar Jawa. Kawasan TembagaPura didekat lokasi pertambangan tak kalah canggih.
Sempat terfikir apa memang tidak ada bagi hasil signifikan antara Industri Freeport untuk pembangunan kawasan di Timika? Menarik jika melihat kembali sebuah film Dokumenter berjudul “Alkinemokiye” buatan Dandhy Laksono. Film ini mengangkat tentang Freeport dan kehidupan karyawan Freeport. Banyak sisi lain tentang Freeport dan kesejahteraan karyawan disana, soal kesenjangan dan intimidasi oleh Aparat keamanan dikupas dalam film ini. Membandingkan film ini dengan realita yang penulis temui sendiri, menjadi paham bahwa memang ada yang salah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua ini.
Membedah persoalan Papua lebih jauh, akan semakin membuat kita semakin miris, Provinsi paling timur yang dikaruniai dengan Sumber Daya Alam ini terasa sangat meprihatinkan dan seolah tak tersentuh oleh pemerataan pembangunan yang dikontrol dari Jakarta. Viralnya Pidato Nara Masista yang terlihat berani, over convidence, semoga membuka mata kita semua pada Papua. Bukan hanya soal HAM, tapi apa benar-benar kita serius mencintai Papua sebagai bagian dari Kesatuan bangsa Indonesia sebagaimana dicita-citakan oleh Founding Fathers negeri ini? Apakah kita berhasil memenangkan hati rakyat Papua? Gugatan referendum yang terus didengungkan oleh sebagian rakyat Papua menjadi wajar sebagai bentuk ketidakpuasan. Jika melihat fakta sejarah, Penentuan Pendapat Rakyat (The Act of Free Choice) atau Pepera tahun 1969, pemungutan suara untuk menentukan apakah Papua Barat akan bergabung dengan Indonesia ataukah menjadi negara tersendiri. Indonesia sukses meyakinkan PBB supaya Pepera tidak dilakukan dengan suara terbanyak rakyat Papua, tetapi ditentukan secara ‘mufakat’ lewat perwakilan. Ada 1,026 orang yang dikategorikan berhak untuk memilih pada Pepera tersebut. Fakta inilah yang akhir-akhir ini juga sedang digugat karena tidak dianggap mewakili keseluruhan keinginan rakyat papua yang sebenarnya.
Sekali lagi Nara Masista setidaknya berhasil menjadi media darling rakyat Indonesia, membuat mata dan Pikiran sedikit melihat tentang papua, tapi seberapa jauh kita peduli dan mencari fakta lebih jauh, atau pertanyaan tadi, seberapa serius sebenarnya kita mencintai papua ?