Kesenjangan ekonomi dan Kemiskinan adalah dua isu yang menjadi problem serius bagi pembangunan bangsa ini. Banyak pihak menjadikan isu kesenjangan sebagai salah satu penyebab timbulnya kegaduhan sampai sentimen SARA yang muncul akhir-akhir ini, tapi benarkah demikian yang terjadi ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita kaji sejenak beberapa latar belakang berikut ini. Kenapa dari hari ke hari orang-orang miskin dan kaum marjinal atau dalam istilah lain kaum dhuafa belum hilang dari sekitar kita? Apa yang salah dengan pembangunan bangsa ini? Pun ketika pemerintah merilis data gini ratio yang sering digunakan untuk acuan mengukur kesenjangan mengalami penurunan hingga di angka 0.394 per September 2016 (dimana hal ini lebih baik daripada gini ratio ditahun 2014 sebelum pemilu sebesar 0,414) , bagi sebagian kalangan hal ini masih kurang memuaskan, apakah benar kondisi ini sudah Ideal dalam konteks memerangi kemiskinan? Lantas seperti apa standar yang digunakan untuk mengatakan kemiskinan itu sudah hilang ?
Segudang pertanyaan diatas inilah sebenarnya adalah pertanyaan klasik yang selalu saja muncul disetiap masa Pemerintah yang berkuasa, bahkan sejak dua dekade yang lalu pun sama, termasuk jelang krisis moneter parah yang melanda kawasan Asia Tenggara ternasuk Indonesia pada tahun 1997-1998. Masa-masa sulit pembangunan bangsa ini pernah dilalui, antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis – baik di desa maupun di kota – karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja. Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika. Kondisi ini kembali membaik seiring proses pergantian pemerintahan sejak awal era Reformasi hingga sekarang ini, jumlah penduduk miskin terus berkurang.
Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka prosentase jumlah orang miskin akan menjadi lebih tinggi. Lebih lanjut lagi, menurut standar lama Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Kemiskinan bukan permasalahan Indonesia saja, tapi merupakan permasalahn global yang cukup pelik. Tahun 2015 Bank Dunia telah merevisi batas bawah garis kemiskinan yang digambarkan dengan penghasilan untuk idup menjadi USD $1.95 per hari, tapi yang perlu dicatat angka batas garis kemiskinan internasional ini sangat rendah, masih perlu memperhatikan aspek lain, sebab boleh jadi orang dengan penghasilan diatas garis kemiskinan masih bisa dikategorikan miskin secara prinsipal. Jika dikembalikan ke kondisi Indonesia dimana garis kemiskinan dipatok lebih tinggi oleh pemerintah, maka bias data kondisi riil ini pasti terjadi.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut (digambarkan dalam jumlah total penduduk miskin) lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian kemiskinan relatif (digambarkan dalam presentase orang miskin terhadap total populasi) propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi.3 Komparasi lain yang sering digunakan adalah jumlah penduduk miskin di kota dan di desa. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 27,76 juta jiwa (10 persen dari total populasi), berdasrkan tempat tinggal per September 2016 jumlah penduduk miskin di kota mengalami kenaikan sebesar 0,15 juta jiwa sebaliknya daerah pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,39 juta orang.
Secara umum dapat dilihat mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Diperkirakan hal Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya. Semua fakta diatas adalah tantangan sekaligus peluang dalam mengakhiri kemiskinan di Indonesia, hal yang paling mungkin dilakukan minimal untuk pertama kali adalah menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi.
Reformasi Zakat dan Solusi mengatasi Kesenjangan
Dompet Dhuafa yang berdiri 2 Juli 1993 dikenal sebagai lembaga yang mereformasi pengelolaan Zakat di Indonesia, hal ini ditasbihkan dengan pengharagaan dari Ramon Mangsaysay Tahun 2016 yang merupakan pengakuan Internasional atas eksistensi dan keberhasilan lembaga ini melakukan metode efektif dalam mengelola dana zakat yang dihimpun dari masyarakat untuk mengatasi kemiskinan lewat aneka macam program pemberdayaan masyarakat. Pelbagai macam permasalahan dan tantangan kemiskinan yang teruangkap dalam data diatas, seolah menemukan soulusi atau dalam skala kecil menemukan sebagian simpul mengurai peliknya permasalahan kemiskinan dan kemanusiaan di Indonesia, bahkan dalam konteks global. Dalam Usia 24 tahun, Dompet Dhuafa telah menjangkau penerima manfaat sebesar 14.969.836 jiwa, dengan jangkauan program di 34 Provinsi se Indonesia dan 40 Negara di Dunia.
Melalui empat bidang program yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan dan pengembangan sosial Dompet Dhuafa menjadi salah satu lembaga non pemerintah (civil society) yang menjadi pionir dalam mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia.
Di bidang ekonomi Dompet Dhuafa melahirkan program-program unggulan yang mendorong kaum dhuafa (mustahik) bertransformasi keluar dari jurang kemiskinan, seperti program pemberdayaan peternak, petani dan juga pemberdayaan usaha mikro. Sektor kesehatan yang dikelola telah mampu melahirkan 6 rumah sakit, 10 Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), 17 gerai sehat dan 55 Pos Sehat. Di Sektor Pendidikan ada sekolah gratis akselerasi SMART Ekselensia, Beasiswa Perguruan Tinggi, hingga program menjangkau pendidikan di wilayah marjinal seperti Sekolah Guru Indonesia dan Sekolah Literasi. Sektor yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan tak luput dari sentuhan program pengembangan sosial, seperti bantuan kebencanaan yang ditangani oleh Disaster Management Centre Dompet Dhuafa, hingga bantuan terhadap pengungsi kemanusiaan yang masuk di wilayah Indonesia.
Semua program-program tadi berjalan karena optimalisasi dana zakat yang terhimpun dari masyarakat, sebuah term yang belum begitu familiar di medio 90an, di saat Dompet Dhuafa awal berdiri, dimana saat itu penyaluran zakat lebih banyak dalam bentuk aktivitas charity atau dalam bentuk cash transfer. Reformasi pengelolaan zakat ini terus berlanjut hingga lahirnya lembaga-lembaga zakat lain seperti Rumah Zakat, PKPU dan lain-lain. Dorongan civil society ini kemudian mendorong sinergi pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Zakat sebagai lampu hijau dan payung regulasi konstitusional yang memberikan keleluasaan dan kontribusi pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia melalui penggunaan dana zakat melalui berbagai macam lembaga zakat ataupun inisiatif masyarakat.
Tantangan Bersama Mengatasi Kemiskinan
Partisipasi lembaga non pemerintah semacam diatas tak bisa dipandang sebelah mata, hal ini justru menegaskan bahwa mengatasi kemiskinan ini merupakan tanggung jawab dari banyak pihak. Sinergi perusaahaan swasta pun demikian, tetap diperlukan dalam rangka menjawab tantangan bersama mengatasi kompleksitas persoaln kemiskinan. Sinergi pemerintah,swasta dan civil society atau yang lazim dikenal dengan istilah triple helix singularity mutlak diperlukan agar semua upaya mengatasi kemiskinan ini bukan hanya menjadi narasi kosong semata.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan atas persoalan kemiskinan ini, pertama, menjaga Stabilitas harga makanan (khususnya beras ) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi. Oleh karena itu penguatan program pemberdayaan ekonomi baik itu disektor hulu dan hilir perlu dilakukan. Jika ada skema pasar yang merugikan, maka sinergisitas tiga pihak ini dalam menciptakan sistem pasar yang berkeadilan tak bisa ditinggalkan. Selain gagal panen, mengatasi kebutuhan dan permintaan yang fluktuatif, permainan harga oleh tengkulak adalah tantangan klasik yang sering dihadapi. Kedua, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Kita ingat waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Hal ini dilakukan juga oleh Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015.7 Dicabutnya subsidi listrik untuk beberapa pelanggan belum lama ini juga berprotensi meningkatkan nilai inflasi, hal ini akan berdampak dalam peningkatan kemiskinan karena dampak dalam skala lebih luas, meskipun masyarakat miskin masih ada yang menerima subsidi tapi gerusan inflasi ini tak terhindarkan lagi, dalam jangka panjang jika tak ada upaya lebih serius mengatasi ini maka angka kemiskinan ini akan tetap dimungkinkan untuk bertambah. Ketiga, ancaman meningkatnya gini ratio, sebagaimana sudah disinggung diawal tulisan ini, gini ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan distribusi pendapatan, dimana mendekati 0 adalah skala idela dan mendekati 1 semakin tinggi kesenjangan yang terjadi. Di Indonesia Gini ratio juga terkait erat dengan pergerakan harga komoditas, berkaca dari kejadian di awal tahun 2000an meningkatnya gini ratio berkaitan dengan meningkatnya harga-harga komoditas secara drastis, ketika harga komoditas turun pada tahun 2011, maka gini ratio pun bergerak stabil. Kesenjangan yang tinggi dalam masyarakat ini bukan hanya berbahaya secara hubungan sosial di masyarakat, tapi juga membahayakan stabilitas ekonomi dan politik. Hasil penelitian dari Bank Dunia menegaskan bahwa negara dengan tingkat gini ratio yang stabil relatif mengalami pertumbuhan lebih cepat dan stabil dibandingkan dengan negara yang memiliki problem kesenjangan yang tinggi. Fakta lain yang tidak bisa dinafikan, laporan terbaru dari Credit Suisse menempatkan Indonesia di peringkat 4 dalam peringkat negara dengan tingkat kesenjangan tinggi, dimana tingkat kesenjangan mencapai 49.3 %. Fenomena ini menunjukkan 1 % orang kaya di Indonesia mengontrol 49.3 % total asset. Indonesia berada dibawah Rusia (74.5 %), India (58.4 %) dan Thailand (58 %). Sebuah problem yang harus dipahami dengan serius, salah satu alasan fundamental ini terjadi karena tidak seimbangnya akses ekonomi antara Si Kaya dengan Si Miskin. Kestabilan harga komoditi dan kesetaraan akses ekonomi adalah kunci menjaga tingkat gininratio bisa stabil. Keempat, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, selain merupakan amanat konstitusi, bergantinya periode pemerintah telah melakukan aneka macam cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah peran civil society atau partisipasi lembaga non pemerintah diperlukan, termasuk pengelolaan lembaga zakat tadi. Di masa orde baru, tepatnya tahun 1960an pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sejak tahun 1970an pemerintah menjalankan program penanggulangan kemiskinan melalui program sektoral dan regional, tahun 1980an kita mengenal adanya program khusus untuk menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, kondisi ekonomi menjadi kacau, angka kemiskinan pun meningkat, dampak dari krisis tersebut pemerintah lantas menggulirkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Secara umum, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dikemas dalam aneka program dari P4K (proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil), KUBE(kelompok usaha bersama), P3DT (pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal) sampai program paling up date seperti PNPM Mandiri. Namun, penurunan angka kemiskinan ini masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik nasional, konflik sosial serta bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh untuk menghindari kemungkinan merosotnya mutu generasi muda (lost generation) dan menjamin kelangsungan pembangunan (sustainable development) di masa mendatang.8
Perlu upaya baru dan strategis dalam konteks penanggulangan kemiskinan ini. Beberapa pakar menyarankan adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan, antara lain berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib hukum dan saling percaya yang menciptakan rasa aman. Maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat, proses ini menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dan pemerintah sebagai fasilitator dan motivator dalam pembangunan. Hal ini perlu diperkuat dengan regulasi dan intervensi pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selaras dengan cita pembangunan nasional. Prioritas pembangunan nasional sebelumnya dipahami dengan pendekatan Triple Track Strategy Yaitu : 1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), 2) Memperluas Lapangan Pekerjaan Baru (Pro Job), dan 3) Meningkatkan Program Perlindungan kepada Masyarakat Miskin (Pro Poor). Sekali lagi lagi sinergisitas multisektor menjadi penting dalam menyukseskan strategi ini. Tak bisa dilakukan sendirian, setiap elemen masyarakat mesti bergabung dan mendukung.
Penegasana peran civil society salah satunya lewat pengelolaan dana zakat secara profesional sebagaimana dicontohkan oleh Dompet Dhuafa dalam pengentasan kemiskinan adalah salah satu pelajaran berharga untuk kita kaji bersama dan implementasikan dalam skala lebih luas. Pemerintah dalam banyak peran salah satunya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) berperan sebagai regulator agar nafas gerakan zakat ini diterima di masyarakat secara lebih massive .
Terima kasih para muzakki, para Amil, relawan, Mustahik dan semua pihak yang selama ini telah mendukung dan berpartisipasi gerakan zakat di Indonesia, mari kita bergandengan tangan mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial di sekitar kita bersama-sama, jangan terlaru larut dalam kegaduhan yang tak penting. Salam Nusantara Jaya
Referrensi :
Berita Resmi Statistik BPS 2016. Jumlah penduduk miskin September 2016
Gunawan Sumodiningrat. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa.Elex media komputindo.Jakarta: 2009.
Kesenjangan ekonomi dan Kemiskinan adalah dua isu yang menjadi problem serius bagi pembangunan bangsa ini. Banyak pihak menjadikan isu kesenjangan sebagai salah satu penyebab timbulnya kegaduhan sampai sentimen SARA yang muncul akhir-akhir ini, tapi benarkah demikian yang terjadi ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita kaji sejenak beberapa latar belakang berikut ini. Kenapa dari hari ke hari orang-orang miskin dan kaum marjinal atau dalam istilah lain kaum dhuafa belum hilang dari sekitar kita? Apa yang salah dengan pembangunan bangsa ini? Pun ketika pemerintah merilis data gini ratio yang sering digunakan untuk acuan mengukur kesenjangan mengalami penurunan hingga di angka 0.394 per September 2016 (dimana hal ini lebih baik daripada gini ratio ditahun 2014 sebelum pemilu sebesar 0,414) , bagi sebagian kalangan hal ini masih kurang memuaskan, apakah benar kondisi ini sudah Ideal dalam konteks memerangi kemiskinan? Lantas seperti apa standar yang digunakan untuk mengatakan kemiskinan itu sudah hilang ?
Segudang pertanyaan diatas inilah sebenarnya adalah pertanyaan klasik yang selalu saja muncul disetiap masa Pemerintah yang berkuasa, bahkan sejak dua dekade yang lalu pun sama, termasuk jelang krisis moneter parah yang melanda kawasan Asia Tenggara ternasuk Indonesia pada tahun 1997-1998. Masa-masa sulit pembangunan bangsa ini pernah dilalui, antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis – baik di desa maupun di kota – karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja. Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika. Kondisi ini kembali membaik seiring proses pergantian pemerintahan sejak awal era Reformasi hingga sekarang ini, jumlah penduduk miskin terus berkurang.
Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka prosentase jumlah orang miskin akan menjadi lebih tinggi. Lebih lanjut lagi, menurut standar lama Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Kemiskinan bukan permasalahan Indonesia saja, tapi merupakan permasalahn global yang cukup pelik. Tahun 2015 Bank Dunia telah merevisi batas bawah garis kemiskinan yang digambarkan dengan penghasilan untuk idup menjadi USD $1.95 per hari, tapi yang perlu dicatat angka batas garis kemiskinan internasional ini sangat rendah, masih perlu memperhatikan aspek lain, sebab boleh jadi orang dengan penghasilan diatas garis kemiskinan masih bisa dikategorikan miskin secara prinsipal. Jika dikembalikan ke kondisi Indonesia dimana garis kemiskinan dipatok lebih tinggi oleh pemerintah, maka bias data kondisi riil ini pasti terjadi.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut (digambarkan dalam jumlah total penduduk miskin) lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian kemiskinan relatif (digambarkan dalam presentase orang miskin terhadap total populasi) propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi.3 Komparasi lain yang sering digunakan adalah jumlah penduduk miskin di kota dan di desa. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 27,76 juta jiwa (10 persen dari total populasi), berdasrkan tempat tinggal per September 2016 jumlah penduduk miskin di kota mengalami kenaikan sebesar 0,15 juta jiwa sebaliknya daerah pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,39 juta orang.
Secara umum dapat dilihat mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Diperkirakan hal Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya. Semua fakta diatas adalah tantangan sekaligus peluang dalam mengakhiri kemiskinan di Indonesia, hal yang paling mungkin dilakukan minimal untuk pertama kali adalah menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi.
Reformasi Zakat dan Solusi mengatasi Kesenjangan
Dompet Dhuafa yang berdiri 2 Juli 1993 dikenal sebagai lembaga yang mereformasi pengelolaan Zakat di Indonesia, hal ini ditasbihkan dengan pengharagaan dari Ramon Mangsaysay Tahun 2016 yang merupakan pengakuan Internasional atas eksistensi dan keberhasilan lembaga ini melakukan metode efektif dalam mengelola dana zakat yang dihimpun dari masyarakat untuk mengatasi kemiskinan lewat aneka macam program pemberdayaan masyarakat. Pelbagai macam permasalahan dan tantangan kemiskinan yang teruangkap dalam data diatas, seolah menemukan soulusi atau dalam skala kecil menemukan sebagian simpul mengurai peliknya permasalahan kemiskinan dan kemanusiaan di Indonesia, bahkan dalam konteks global. Dalam Usia 24 tahun, Dompet Dhuafa telah menjangkau penerima manfaat sebesar 14.969.836 jiwa, dengan jangkauan program di 34 Provinsi se Indonesia dan 40 Negara di Dunia.
Melalui empat bidang program yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan dan pengembangan sosial Dompet Dhuafa menjadi salah satu lembaga non pemerintah (civil society) yang menjadi pionir dalam mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia.
Di bidang ekonomi Dompet Dhuafa melahirkan program-program unggulan yang mendorong kaum dhuafa (mustahik) bertransformasi keluar dari jurang kemiskinan, seperti program pemberdayaan peternak, petani dan juga pemberdayaan usaha mikro. Sektor kesehatan yang dikelola telah mampu melahirkan 6 rumah sakit, 10 Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), 17 gerai sehat dan 55 Pos Sehat. Di Sektor Pendidikan ada sekolah gratis akselerasi SMART Ekselensia, Beasiswa Perguruan Tinggi, hingga program menjangkau pendidikan di wilayah marjinal seperti Sekolah Guru Indonesia dan Sekolah Literasi. Sektor yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan tak luput dari sentuhan program pengembangan sosial, seperti bantuan kebencanaan yang ditangani oleh Disaster Management Centre Dompet Dhuafa, hingga bantuan terhadap pengungsi kemanusiaan yang masuk di wilayah Indonesia.
Semua program-program tadi berjalan karena optimalisasi dana zakat yang terhimpun dari masyarakat, sebuah term yang belum begitu familiar di medio 90an, di saat Dompet Dhuafa awal berdiri, dimana saat itu penyaluran zakat lebih banyak dalam bentuk aktivitas charity atau dalam bentuk cash transfer. Reformasi pengelolaan zakat ini terus berlanjut hingga lahirnya lembaga-lembaga zakat lain seperti Rumah Zakat, PKPU dan lain-lain. Dorongan civil society ini kemudian mendorong sinergi pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Zakat sebagai lampu hijau dan payung regulasi konstitusional yang memberikan keleluasaan dan kontribusi pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia melalui penggunaan dana zakat melalui berbagai macam lembaga zakat ataupun inisiatif masyarakat.
Tantangan Bersama Mengatasi Kemiskinan
Partisipasi lembaga non pemerintah semacam diatas tak bisa dipandang sebelah mata, hal ini justru menegaskan bahwa mengatasi kemiskinan ini merupakan tanggung jawab dari banyak pihak. Sinergi perusaahaan swasta pun demikian, tetap diperlukan dalam rangka menjawab tantangan bersama mengatasi kompleksitas persoaln kemiskinan. Sinergi pemerintah,swasta dan civil society atau yang lazim dikenal dengan istilah triple helix singularity mutlak diperlukan agar semua upaya mengatasi kemiskinan ini bukan hanya menjadi narasi kosong semata.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan atas persoalan kemiskinan ini, pertama, menjaga Stabilitas harga makanan (khususnya beras ) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi. Oleh karena itu penguatan program pemberdayaan ekonomi baik itu disektor hulu dan hilir perlu dilakukan. Jika ada skema pasar yang merugikan, maka sinergisitas tiga pihak ini dalam menciptakan sistem pasar yang berkeadilan tak bisa ditinggalkan. Selain gagal panen, mengatasi kebutuhan dan permintaan yang fluktuatif, permainan harga oleh tengkulak adalah tantangan klasik yang sering dihadapi. Kedua, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Kita ingat waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Hal ini dilakukan juga oleh Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015.7 Dicabutnya subsidi listrik untuk beberapa pelanggan belum lama ini juga berprotensi meningkatkan nilai inflasi, hal ini akan berdampak dalam peningkatan kemiskinan karena dampak dalam skala lebih luas, meskipun masyarakat miskin masih ada yang menerima subsidi tapi gerusan inflasi ini tak terhindarkan lagi, dalam jangka panjang jika tak ada upaya lebih serius mengatasi ini maka angka kemiskinan ini akan tetap dimungkinkan untuk bertambah. Ketiga, ancaman meningkatnya gini ratio, sebagaimana sudah disinggung diawal tulisan ini, gini ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan distribusi pendapatan, dimana mendekati 0 adalah skala idela dan mendekati 1 semakin tinggi kesenjangan yang terjadi. Di Indonesia Gini ratio juga terkait erat dengan pergerakan harga komoditas, berkaca dari kejadian di awal tahun 2000an meningkatnya gini ratio berkaitan dengan meningkatnya harga-harga komoditas secara drastis, ketika harga komoditas turun pada tahun 2011, maka gini ratio pun bergerak stabil. Kesenjangan yang tinggi dalam masyarakat ini bukan hanya berbahaya secara hubungan sosial di masyarakat, tapi juga membahayakan stabilitas ekonomi dan politik. Hasil penelitian dari Bank Dunia menegaskan bahwa negara dengan tingkat gini ratio yang stabil relatif mengalami pertumbuhan lebih cepat dan stabil dibandingkan dengan negara yang memiliki problem kesenjangan yang tinggi. Fakta lain yang tidak bisa dinafikan, laporan terbaru dari Credit Suisse menempatkan Indonesia di peringkat 4 dalam peringkat negara dengan tingkat kesenjangan tinggi, dimana tingkat kesenjangan mencapai 49.3 %. Fenomena ini menunjukkan 1 % orang kaya di Indonesia mengontrol 49.3 % total asset. Indonesia berada dibawah Rusia (74.5 %), India (58.4 %) dan Thailand (58 %). Sebuah problem yang harus dipahami dengan serius, salah satu alasan fundamental ini terjadi karena tidak seimbangnya akses ekonomi antara Si Kaya dengan Si Miskin. Kestabilan harga komoditi dan kesetaraan akses ekonomi adalah kunci menjaga tingkat gininratio bisa stabil. Keempat, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, selain merupakan amanat konstitusi, bergantinya periode pemerintah telah melakukan aneka macam cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah peran civil society atau partisipasi lembaga non pemerintah diperlukan, termasuk pengelolaan lembaga zakat tadi. Di masa orde baru, tepatnya tahun 1960an pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sejak tahun 1970an pemerintah menjalankan program penanggulangan kemiskinan melalui program sektoral dan regional, tahun 1980an kita mengenal adanya program khusus untuk menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, kondisi ekonomi menjadi kacau, angka kemiskinan pun meningkat, dampak dari krisis tersebut pemerintah lantas menggulirkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Secara umum, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dikemas dalam aneka program dari P4K (proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil), KUBE(kelompok usaha bersama), P3DT (pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal) sampai program paling up date seperti PNPM Mandiri. Namun, penurunan angka kemiskinan ini masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik nasional, konflik sosial serta bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh untuk menghindari kemungkinan merosotnya mutu generasi muda (lost generation) dan menjamin kelangsungan pembangunan (sustainable development) di masa mendatang.8
Perlu upaya baru dan strategis dalam konteks penanggulangan kemiskinan ini. Beberapa pakar menyarankan adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan, antara lain berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib hukum dan saling percaya yang menciptakan rasa aman. Maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat, proses ini menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dan pemerintah sebagai fasilitator dan motivator dalam pembangunan. Hal ini perlu diperkuat dengan regulasi dan intervensi pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selaras dengan cita pembangunan nasional. Prioritas pembangunan nasional sebelumnya dipahami dengan pendekatan Triple Track Strategy Yaitu : 1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), 2) Memperluas Lapangan Pekerjaan Baru (Pro Job), dan 3) Meningkatkan Program Perlindungan kepada Masyarakat Miskin (Pro Poor). Sekali lagi lagi sinergisitas multisektor menjadi penting dalam menyukseskan strategi ini. Tak bisa dilakukan sendirian, setiap elemen masyarakat mesti bergabung dan mendukung.
Penegasana peran civil society salah satunya lewat pengelolaan dana zakat secara profesional sebagaimana dicontohkan oleh Dompet Dhuafa dalam pengentasan kemiskinan adalah salah satu pelajaran berharga untuk kita kaji bersama dan implementasikan dalam skala lebih luas. Pemerintah dalam banyak peran salah satunya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) berperan sebagai regulator agar nafas gerakan zakat ini diterima di masyarakat secara lebih massive .
Terima kasih para muzakki, para Amil, relawan, Mustahik dan semua pihak yang selama ini telah mendukung dan berpartisipasi gerakan zakat di Indonesia, mari kita bergandengan tangan mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial di sekitar kita bersama-sama, jangan terlaru larut dalam kegaduhan yang tak penting. Salam Nusantara Jaya
Referrensi :
Berita Resmi Statistik BPS 2016. Jumlah penduduk miskin September 2016
Gunawan Sumodiningrat. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa.Elex media komputindo.Jakarta: 2009.
Kesenjangan ekonomi dan Kemiskinan adalah dua isu yang menjadi problem serius bagi pembangunan bangsa ini. Banyak pihak menjadikan isu kesenjangan sebagai salah satu penyebab timbulnya kegaduhan sampai sentimen SARA yang muncul akhir-akhir ini, tapi benarkah demikian yang terjadi ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita kaji sejenak beberapa latar belakang berikut ini. Kenapa dari hari ke hari orang-orang miskin dan kaum marjinal atau dalam istilah lain kaum dhuafa belum hilang dari sekitar kita? Apa yang salah dengan pembangunan bangsa ini? Pun ketika pemerintah merilis data gini ratio yang sering digunakan untuk acuan mengukur kesenjangan mengalami penurunan hingga di angka 0.394 per September 2016 (dimana hal ini lebih baik daripada gini ratio ditahun 2014 sebelum pemilu sebesar 0,414) , bagi sebagian kalangan hal ini masih kurang memuaskan, apakah benar kondisi ini sudah Ideal dalam konteks memerangi kemiskinan? Lantas seperti apa standar yang digunakan untuk mengatakan kemiskinan itu sudah hilang ?
Segudang pertanyaan diatas inilah sebenarnya adalah pertanyaan klasik yang selalu saja muncul disetiap masa Pemerintah yang berkuasa, bahkan sejak dua dekade yang lalu pun sama, termasuk jelang krisis moneter parah yang melanda kawasan Asia Tenggara ternasuk Indonesia pada tahun 1997-1998. Masa-masa sulit pembangunan bangsa ini pernah dilalui, antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis – baik di desa maupun di kota – karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja. Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika. Kondisi ini kembali membaik seiring proses pergantian pemerintahan sejak awal era Reformasi hingga sekarang ini, jumlah penduduk miskin terus berkurang.
Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka prosentase jumlah orang miskin akan menjadi lebih tinggi. Lebih lanjut lagi, menurut standar lama Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Kemiskinan bukan permasalahan Indonesia saja, tapi merupakan permasalahn global yang cukup pelik. Tahun 2015 Bank Dunia telah merevisi batas bawah garis kemiskinan yang digambarkan dengan penghasilan untuk idup menjadi USD $1.95 per hari, tapi yang perlu dicatat angka batas garis kemiskinan internasional ini sangat rendah, masih perlu memperhatikan aspek lain, sebab boleh jadi orang dengan penghasilan diatas garis kemiskinan masih bisa dikategorikan miskin secara prinsipal. Jika dikembalikan ke kondisi Indonesia dimana garis kemiskinan dipatok lebih tinggi oleh pemerintah, maka bias data kondisi riil ini pasti terjadi.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut (digambarkan dalam jumlah total penduduk miskin) lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian kemiskinan relatif (digambarkan dalam presentase orang miskin terhadap total populasi) propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi.3 Komparasi lain yang sering digunakan adalah jumlah penduduk miskin di kota dan di desa. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 27,76 juta jiwa (10 persen dari total populasi), berdasrkan tempat tinggal per September 2016 jumlah penduduk miskin di kota mengalami kenaikan sebesar 0,15 juta jiwa sebaliknya daerah pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,39 juta orang.
Secara umum dapat dilihat mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Diperkirakan hal Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya. Semua fakta diatas adalah tantangan sekaligus peluang dalam mengakhiri kemiskinan di Indonesia, hal yang paling mungkin dilakukan minimal untuk pertama kali adalah menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi.
Reformasi Zakat dan Solusi mengatasi Kesenjangan
Dompet Dhuafa yang berdiri 2 Juli 1993 dikenal sebagai lembaga yang mereformasi pengelolaan Zakat di Indonesia, hal ini ditasbihkan dengan pengharagaan dari Ramon Mangsaysay Tahun 2016 yang merupakan pengakuan Internasional atas eksistensi dan keberhasilan lembaga ini melakukan metode efektif dalam mengelola dana zakat yang dihimpun dari masyarakat untuk mengatasi kemiskinan lewat aneka macam program pemberdayaan masyarakat. Pelbagai macam permasalahan dan tantangan kemiskinan yang teruangkap dalam data diatas, seolah menemukan soulusi atau dalam skala kecil menemukan sebagian simpul mengurai peliknya permasalahan kemiskinan dan kemanusiaan di Indonesia, bahkan dalam konteks global. Dalam Usia 24 tahun, Dompet Dhuafa telah menjangkau penerima manfaat sebesar 14.969.836 jiwa, dengan jangkauan program di 34 Provinsi se Indonesia dan 40 Negara di Dunia.
Melalui empat bidang program yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan dan pengembangan sosial Dompet Dhuafa menjadi salah satu lembaga non pemerintah (civil society) yang menjadi pionir dalam mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia.
Di bidang ekonomi Dompet Dhuafa melahirkan program-program unggulan yang mendorong kaum dhuafa (mustahik) bertransformasi keluar dari jurang kemiskinan, seperti program pemberdayaan peternak, petani dan juga pemberdayaan usaha mikro. Sektor kesehatan yang dikelola telah mampu melahirkan 6 rumah sakit, 10 Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), 17 gerai sehat dan 55 Pos Sehat. Di Sektor Pendidikan ada sekolah gratis akselerasi SMART Ekselensia, Beasiswa Perguruan Tinggi, hingga program menjangkau pendidikan di wilayah marjinal seperti Sekolah Guru Indonesia dan Sekolah Literasi. Sektor yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan tak luput dari sentuhan program pengembangan sosial, seperti bantuan kebencanaan yang ditangani oleh Disaster Management Centre Dompet Dhuafa, hingga bantuan terhadap pengungsi kemanusiaan yang masuk di wilayah Indonesia.
Semua program-program tadi berjalan karena optimalisasi dana zakat yang terhimpun dari masyarakat, sebuah term yang belum begitu familiar di medio 90an, di saat Dompet Dhuafa awal berdiri, dimana saat itu penyaluran zakat lebih banyak dalam bentuk aktivitas charity atau dalam bentuk cash transfer. Reformasi pengelolaan zakat ini terus berlanjut hingga lahirnya lembaga-lembaga zakat lain seperti Rumah Zakat, PKPU dan lain-lain. Dorongan civil society ini kemudian mendorong sinergi pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Zakat sebagai lampu hijau dan payung regulasi konstitusional yang memberikan keleluasaan dan kontribusi pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia melalui penggunaan dana zakat melalui berbagai macam lembaga zakat ataupun inisiatif masyarakat.
Tantangan Bersama Mengatasi Kemiskinan
Partisipasi lembaga non pemerintah semacam diatas tak bisa dipandang sebelah mata, hal ini justru menegaskan bahwa mengatasi kemiskinan ini merupakan tanggung jawab dari banyak pihak. Sinergi perusaahaan swasta pun demikian, tetap diperlukan dalam rangka menjawab tantangan bersama mengatasi kompleksitas persoaln kemiskinan. Sinergi pemerintah,swasta dan civil society atau yang lazim dikenal dengan istilah triple helix singularity mutlak diperlukan agar semua upaya mengatasi kemiskinan ini bukan hanya menjadi narasi kosong semata.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan atas persoalan kemiskinan ini, pertama, menjaga Stabilitas harga makanan (khususnya beras ) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi. Oleh karena itu penguatan program pemberdayaan ekonomi baik itu disektor hulu dan hilir perlu dilakukan. Jika ada skema pasar yang merugikan, maka sinergisitas tiga pihak ini dalam menciptakan sistem pasar yang berkeadilan tak bisa ditinggalkan. Selain gagal panen, mengatasi kebutuhan dan permintaan yang fluktuatif, permainan harga oleh tengkulak adalah tantangan klasik yang sering dihadapi. Kedua, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Kita ingat waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Hal ini dilakukan juga oleh Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015.7 Dicabutnya subsidi listrik untuk beberapa pelanggan belum lama ini juga berprotensi meningkatkan nilai inflasi, hal ini akan berdampak dalam peningkatan kemiskinan karena dampak dalam skala lebih luas, meskipun masyarakat miskin masih ada yang menerima subsidi tapi gerusan inflasi ini tak terhindarkan lagi, dalam jangka panjang jika tak ada upaya lebih serius mengatasi ini maka angka kemiskinan ini akan tetap dimungkinkan untuk bertambah. Ketiga, ancaman meningkatnya gini ratio, sebagaimana sudah disinggung diawal tulisan ini, gini ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan distribusi pendapatan, dimana mendekati 0 adalah skala idela dan mendekati 1 semakin tinggi kesenjangan yang terjadi. Di Indonesia Gini ratio juga terkait erat dengan pergerakan harga komoditas, berkaca dari kejadian di awal tahun 2000an meningkatnya gini ratio berkaitan dengan meningkatnya harga-harga komoditas secara drastis, ketika harga komoditas turun pada tahun 2011, maka gini ratio pun bergerak stabil. Kesenjangan yang tinggi dalam masyarakat ini bukan hanya berbahaya secara hubungan sosial di masyarakat, tapi juga membahayakan stabilitas ekonomi dan politik. Hasil penelitian dari Bank Dunia menegaskan bahwa negara dengan tingkat gini ratio yang stabil relatif mengalami pertumbuhan lebih cepat dan stabil dibandingkan dengan negara yang memiliki problem kesenjangan yang tinggi. Fakta lain yang tidak bisa dinafikan, laporan terbaru dari Credit Suisse menempatkan Indonesia di peringkat 4 dalam peringkat negara dengan tingkat kesenjangan tinggi, dimana tingkat kesenjangan mencapai 49.3 %. Fenomena ini menunjukkan 1 % orang kaya di Indonesia mengontrol 49.3 % total asset. Indonesia berada dibawah Rusia (74.5 %), India (58.4 %) dan Thailand (58 %). Sebuah problem yang harus dipahami dengan serius, salah satu alasan fundamental ini terjadi karena tidak seimbangnya akses ekonomi antara Si Kaya dengan Si Miskin. Kestabilan harga komoditi dan kesetaraan akses ekonomi adalah kunci menjaga tingkat gininratio bisa stabil. Keempat, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, selain merupakan amanat konstitusi, bergantinya periode pemerintah telah melakukan aneka macam cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah peran civil society atau partisipasi lembaga non pemerintah diperlukan, termasuk pengelolaan lembaga zakat tadi. Di masa orde baru, tepatnya tahun 1960an pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sejak tahun 1970an pemerintah menjalankan program penanggulangan kemiskinan melalui program sektoral dan regional, tahun 1980an kita mengenal adanya program khusus untuk menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, kondisi ekonomi menjadi kacau, angka kemiskinan pun meningkat, dampak dari krisis tersebut pemerintah lantas menggulirkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Secara umum, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dikemas dalam aneka program dari P4K (proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil), KUBE(kelompok usaha bersama), P3DT (pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal) sampai program paling up date seperti PNPM Mandiri. Namun, penurunan angka kemiskinan ini masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik nasional, konflik sosial serta bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh untuk menghindari kemungkinan merosotnya mutu generasi muda (lost generation) dan menjamin kelangsungan pembangunan (sustainable development) di masa mendatang.8
Perlu upaya baru dan strategis dalam konteks penanggulangan kemiskinan ini. Beberapa pakar menyarankan adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan, antara lain berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib hukum dan saling percaya yang menciptakan rasa aman. Maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat, proses ini menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dan pemerintah sebagai fasilitator dan motivator dalam pembangunan. Hal ini perlu diperkuat dengan regulasi dan intervensi pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selaras dengan cita pembangunan nasional. Prioritas pembangunan nasional sebelumnya dipahami dengan pendekatan Triple Track Strategy Yaitu : 1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), 2) Memperluas Lapangan Pekerjaan Baru (Pro Job), dan 3) Meningkatkan Program Perlindungan kepada Masyarakat Miskin (Pro Poor). Sekali lagi lagi sinergisitas multisektor menjadi penting dalam menyukseskan strategi ini. Tak bisa dilakukan sendirian, setiap elemen masyarakat mesti bergabung dan mendukung.
Penegasana peran civil society salah satunya lewat pengelolaan dana zakat secara profesional sebagaimana dicontohkan oleh Dompet Dhuafa dalam pengentasan kemiskinan adalah salah satu pelajaran berharga untuk kita kaji bersama dan implementasikan dalam skala lebih luas. Pemerintah dalam banyak peran salah satunya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) berperan sebagai regulator agar nafas gerakan zakat ini diterima di masyarakat secara lebih massive .
Terima kasih para muzakki, para Amil, relawan, Mustahik dan semua pihak yang selama ini telah mendukung dan berpartisipasi gerakan zakat di Indonesia, mari kita bergandengan tangan mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial di sekitar kita bersama-sama, jangan terlaru larut dalam kegaduhan yang tak penting. Salam Nusantara Jaya
Referrensi :
Berita Resmi Statistik BPS 2016. Jumlah penduduk miskin September 2016
Gunawan Sumodiningrat. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa.Elex media komputindo.Jakarta: 2009.
Kesenjangan ekonomi dan Kemiskinan adalah dua isu yang menjadi problem serius bagi pembangunan bangsa ini. Banyak pihak menjadikan isu kesenjangan sebagai salah satu penyebab timbulnya kegaduhan sampai sentimen SARA yang muncul akhir-akhir ini, tapi benarkah demikian yang terjadi ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita kaji sejenak beberapa latar belakang berikut ini. Kenapa dari hari ke hari orang-orang miskin dan kaum marjinal atau dalam istilah lain kaum dhuafa belum hilang dari sekitar kita? Apa yang salah dengan pembangunan bangsa ini? Pun ketika pemerintah merilis data gini ratio yang sering digunakan untuk acuan mengukur kesenjangan mengalami penurunan hingga di angka 0.394 per September 2016 (dimana hal ini lebih baik daripada gini ratio ditahun 2014 sebelum pemilu sebesar 0,414) , bagi sebagian kalangan hal ini masih kurang memuaskan, apakah benar kondisi ini sudah Ideal dalam konteks memerangi kemiskinan? Lantas seperti apa standar yang digunakan untuk mengatakan kemiskinan itu sudah hilang ?
Segudang pertanyaan diatas inilah sebenarnya adalah pertanyaan klasik yang selalu saja muncul disetiap masa Pemerintah yang berkuasa, bahkan sejak dua dekade yang lalu pun sama, termasuk jelang krisis moneter parah yang melanda kawasan Asia Tenggara ternasuk Indonesia pada tahun 1997-1998. Masa-masa sulit pembangunan bangsa ini pernah dilalui, antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis – baik di desa maupun di kota – karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja. Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika. Kondisi ini kembali membaik seiring proses pergantian pemerintahan sejak awal era Reformasi hingga sekarang ini, jumlah penduduk miskin terus berkurang.
Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka prosentase jumlah orang miskin akan menjadi lebih tinggi. Lebih lanjut lagi, menurut standar lama Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Kemiskinan bukan permasalahan Indonesia saja, tapi merupakan permasalahn global yang cukup pelik. Tahun 2015 Bank Dunia telah merevisi batas bawah garis kemiskinan yang digambarkan dengan penghasilan untuk idup menjadi USD $1.95 per hari, tapi yang perlu dicatat angka batas garis kemiskinan internasional ini sangat rendah, masih perlu memperhatikan aspek lain, sebab boleh jadi orang dengan penghasilan diatas garis kemiskinan masih bisa dikategorikan miskin secara prinsipal. Jika dikembalikan ke kondisi Indonesia dimana garis kemiskinan dipatok lebih tinggi oleh pemerintah, maka bias data kondisi riil ini pasti terjadi.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut (digambarkan dalam jumlah total penduduk miskin) lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian kemiskinan relatif (digambarkan dalam presentase orang miskin terhadap total populasi) propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi.3 Komparasi lain yang sering digunakan adalah jumlah penduduk miskin di kota dan di desa. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 27,76 juta jiwa (10 persen dari total populasi), berdasrkan tempat tinggal per September 2016 jumlah penduduk miskin di kota mengalami kenaikan sebesar 0,15 juta jiwa sebaliknya daerah pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,39 juta orang.
Secara umum dapat dilihat mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Diperkirakan hal Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya. Semua fakta diatas adalah tantangan sekaligus peluang dalam mengakhiri kemiskinan di Indonesia, hal yang paling mungkin dilakukan minimal untuk pertama kali adalah menurunkan tingkat kesenjangan ekonomi.
Reformasi Zakat dan Solusi mengatasi Kesenjangan
Dompet Dhuafa yang berdiri 2 Juli 1993 dikenal sebagai lembaga yang mereformasi pengelolaan Zakat di Indonesia, hal ini ditasbihkan dengan pengharagaan dari Ramon Mangsaysay Tahun 2016 yang merupakan pengakuan Internasional atas eksistensi dan keberhasilan lembaga ini melakukan metode efektif dalam mengelola dana zakat yang dihimpun dari masyarakat untuk mengatasi kemiskinan lewat aneka macam program pemberdayaan masyarakat. Pelbagai macam permasalahan dan tantangan kemiskinan yang teruangkap dalam data diatas, seolah menemukan soulusi atau dalam skala kecil menemukan sebagian simpul mengurai peliknya permasalahan kemiskinan dan kemanusiaan di Indonesia, bahkan dalam konteks global. Dalam Usia 24 tahun, Dompet Dhuafa telah menjangkau penerima manfaat sebesar 14.969.836 jiwa, dengan jangkauan program di 34 Provinsi se Indonesia dan 40 Negara di Dunia.
Melalui empat bidang program yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan dan pengembangan sosial Dompet Dhuafa menjadi salah satu lembaga non pemerintah (civil society) yang menjadi pionir dalam mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia.
Di bidang ekonomi Dompet Dhuafa melahirkan program-program unggulan yang mendorong kaum dhuafa (mustahik) bertransformasi keluar dari jurang kemiskinan, seperti program pemberdayaan peternak, petani dan juga pemberdayaan usaha mikro. Sektor kesehatan yang dikelola telah mampu melahirkan 6 rumah sakit, 10 Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), 17 gerai sehat dan 55 Pos Sehat. Di Sektor Pendidikan ada sekolah gratis akselerasi SMART Ekselensia, Beasiswa Perguruan Tinggi, hingga program menjangkau pendidikan di wilayah marjinal seperti Sekolah Guru Indonesia dan Sekolah Literasi. Sektor yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan tak luput dari sentuhan program pengembangan sosial, seperti bantuan kebencanaan yang ditangani oleh Disaster Management Centre Dompet Dhuafa, hingga bantuan terhadap pengungsi kemanusiaan yang masuk di wilayah Indonesia.
Semua program-program tadi berjalan karena optimalisasi dana zakat yang terhimpun dari masyarakat, sebuah term yang belum begitu familiar di medio 90an, di saat Dompet Dhuafa awal berdiri, dimana saat itu penyaluran zakat lebih banyak dalam bentuk aktivitas charity atau dalam bentuk cash transfer. Reformasi pengelolaan zakat ini terus berlanjut hingga lahirnya lembaga-lembaga zakat lain seperti Rumah Zakat, PKPU dan lain-lain. Dorongan civil society ini kemudian mendorong sinergi pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Zakat sebagai lampu hijau dan payung regulasi konstitusional yang memberikan keleluasaan dan kontribusi pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia melalui penggunaan dana zakat melalui berbagai macam lembaga zakat ataupun inisiatif masyarakat.
Tantangan Bersama Mengatasi Kemiskinan
Partisipasi lembaga non pemerintah semacam diatas tak bisa dipandang sebelah mata, hal ini justru menegaskan bahwa mengatasi kemiskinan ini merupakan tanggung jawab dari banyak pihak. Sinergi perusaahaan swasta pun demikian, tetap diperlukan dalam rangka menjawab tantangan bersama mengatasi kompleksitas persoaln kemiskinan. Sinergi pemerintah,swasta dan civil society atau yang lazim dikenal dengan istilah triple helix singularity mutlak diperlukan agar semua upaya mengatasi kemiskinan ini bukan hanya menjadi narasi kosong semata.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan atas persoalan kemiskinan ini, pertama, menjaga Stabilitas harga makanan (khususnya beras ) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi. Oleh karena itu penguatan program pemberdayaan ekonomi baik itu disektor hulu dan hilir perlu dilakukan. Jika ada skema pasar yang merugikan, maka sinergisitas tiga pihak ini dalam menciptakan sistem pasar yang berkeadilan tak bisa ditinggalkan. Selain gagal panen, mengatasi kebutuhan dan permintaan yang fluktuatif, permainan harga oleh tengkulak adalah tantangan klasik yang sering dihadapi. Kedua, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Kita ingat waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Hal ini dilakukan juga oleh Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015.7 Dicabutnya subsidi listrik untuk beberapa pelanggan belum lama ini juga berprotensi meningkatkan nilai inflasi, hal ini akan berdampak dalam peningkatan kemiskinan karena dampak dalam skala lebih luas, meskipun masyarakat miskin masih ada yang menerima subsidi tapi gerusan inflasi ini tak terhindarkan lagi, dalam jangka panjang jika tak ada upaya lebih serius mengatasi ini maka angka kemiskinan ini akan tetap dimungkinkan untuk bertambah. Ketiga, ancaman meningkatnya gini ratio, sebagaimana sudah disinggung diawal tulisan ini, gini ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan distribusi pendapatan, dimana mendekati 0 adalah skala idela dan mendekati 1 semakin tinggi kesenjangan yang terjadi. Di Indonesia Gini ratio juga terkait erat dengan pergerakan harga komoditas, berkaca dari kejadian di awal tahun 2000an meningkatnya gini ratio berkaitan dengan meningkatnya harga-harga komoditas secara drastis, ketika harga komoditas turun pada tahun 2011, maka gini ratio pun bergerak stabil. Kesenjangan yang tinggi dalam masyarakat ini bukan hanya berbahaya secara hubungan sosial di masyarakat, tapi juga membahayakan stabilitas ekonomi dan politik. Hasil penelitian dari Bank Dunia menegaskan bahwa negara dengan tingkat gini ratio yang stabil relatif mengalami pertumbuhan lebih cepat dan stabil dibandingkan dengan negara yang memiliki problem kesenjangan yang tinggi. Fakta lain yang tidak bisa dinafikan, laporan terbaru dari Credit Suisse menempatkan Indonesia di peringkat 4 dalam peringkat negara dengan tingkat kesenjangan tinggi, dimana tingkat kesenjangan mencapai 49.3 %. Fenomena ini menunjukkan 1 % orang kaya di Indonesia mengontrol 49.3 % total asset. Indonesia berada dibawah Rusia (74.5 %), India (58.4 %) dan Thailand (58 %). Sebuah problem yang harus dipahami dengan serius, salah satu alasan fundamental ini terjadi karena tidak seimbangnya akses ekonomi antara Si Kaya dengan Si Miskin. Kestabilan harga komoditi dan kesetaraan akses ekonomi adalah kunci menjaga tingkat gininratio bisa stabil. Keempat, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, selain merupakan amanat konstitusi, bergantinya periode pemerintah telah melakukan aneka macam cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah peran civil society atau partisipasi lembaga non pemerintah diperlukan, termasuk pengelolaan lembaga zakat tadi. Di masa orde baru, tepatnya tahun 1960an pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sejak tahun 1970an pemerintah menjalankan program penanggulangan kemiskinan melalui program sektoral dan regional, tahun 1980an kita mengenal adanya program khusus untuk menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, kondisi ekonomi menjadi kacau, angka kemiskinan pun meningkat, dampak dari krisis tersebut pemerintah lantas menggulirkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Secara umum, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dikemas dalam aneka program dari P4K (proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil), KUBE(kelompok usaha bersama), P3DT (pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal) sampai program paling up date seperti PNPM Mandiri. Namun, penurunan angka kemiskinan ini masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik nasional, konflik sosial serta bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh untuk menghindari kemungkinan merosotnya mutu generasi muda (lost generation) dan menjamin kelangsungan pembangunan (sustainable development) di masa mendatang.8
Perlu upaya baru dan strategis dalam konteks penanggulangan kemiskinan ini. Beberapa pakar menyarankan adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan, antara lain berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib hukum dan saling percaya yang menciptakan rasa aman. Maka salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat, proses ini menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dan pemerintah sebagai fasilitator dan motivator dalam pembangunan. Hal ini perlu diperkuat dengan regulasi dan intervensi pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selaras dengan cita pembangunan nasional. Prioritas pembangunan nasional sebelumnya dipahami dengan pendekatan Triple Track Strategy Yaitu : 1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), 2) Memperluas Lapangan Pekerjaan Baru (Pro Job), dan 3) Meningkatkan Program Perlindungan kepada Masyarakat Miskin (Pro Poor). Sekali lagi lagi sinergisitas multisektor menjadi penting dalam menyukseskan strategi ini. Tak bisa dilakukan sendirian, setiap elemen masyarakat mesti bergabung dan mendukung.
Penegasana peran civil society salah satunya lewat pengelolaan dana zakat secara profesional sebagaimana dicontohkan oleh Dompet Dhuafa dalam pengentasan kemiskinan adalah salah satu pelajaran berharga untuk kita kaji bersama dan implementasikan dalam skala lebih luas. Pemerintah dalam banyak peran salah satunya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) berperan sebagai regulator agar nafas gerakan zakat ini diterima di masyarakat secara lebih massive .
Terima kasih para muzakki, para Amil, relawan, Mustahik dan semua pihak yang selama ini telah mendukung dan berpartisipasi gerakan zakat di Indonesia, mari kita bergandengan tangan mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial di sekitar kita bersama-sama, jangan terlaru larut dalam kegaduhan yang tak penting. Salam Nusantara Jaya
Referrensi :
Berita Resmi Statistik BPS 2016. Jumlah penduduk miskin September 2016
Gunawan Sumodiningrat. Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa.Elex media komputindo.Jakarta: 2009.