Breaking News

Bukan sekadar berita palsu: media sosial dan kampanye politik yang disetir pasar

File 20170730 16184 1ygzz37
Semua tim sukses di pemilihan gubernur Jakarta tahun ini melakukan praktik politik pasca-kebenaran.
www.shutterstock.com

Merlyna Lim, Carleton University

Suka tidak suka, media sosial telah menjadi bagian dari politik di pelbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Dalam pemilihan pemimpin baru, keterkaitan politik dan media sosial semakin kasatmata sejalan dengan penggunaan media sosial skala besar dalam kampanye.

Dengan memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, interaksi antara partai politik, politisi, dan publik menjadi lebih mudah dan murah. Namun bagi beberapa pengamat, perkembangan terakhir dalam dunia politik, seperti terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat, “Brexit” di Inggris, dan pemilihan gubernur di Jakarta (Pilkada), menunjukkan bahwa kampanye media sosial sudah menggiring politik pada titik nadir yang mengancam demokrasi itu sendiri.

Banyak pengamat memusatkan perhatian pada berbiaknya berita palsu dan menuding media sosial telah mengantarkan kita pada era “post-truth” (pasca-kebenaran, situasi di mana emosi dan kepercayaan pribadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif). Pengamatan saya menunjukkan bahwa berita palsu adalah konsekuensi logis dari media dan kampanye politik yang disetir pasar ketika kampanye hanya dijadikan ajang menuai suara. Kampanye di masa kini cenderung mengandalkan kerangka komersial dengan pemasaran dan pencitraan sebagai alat utama dalam berkampanye.

Semua pihak terlibat politik pasca-kebenaran

Dalam kampanye Pilkada, semua kandidat membentuk tim media sosial sebagai bagian dari strategi kampanye mereka. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengandalkan Jasmev dan Teman Ahok. Agus Harimurti Yudhoyono didukung oleh KaribAgus, sementara Anies Baswedan memanfaatkan JakartaMajuBersama.com.

Dalam berkampanye, semua tim mengaku hanya fokus pada pesan-pesan positif tapi praktiknya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Lebih jauh lagi, meski tak satu pun kandidat mengakuinya, mereka semua mempekerjakan “buzzer” media sosial berbayar untuk cuitan mereka.

Tim-tim kampanye juga memanfaatkan selebriti mikro seperti Denny Siregar (pro-Ahok) dan Jonru Ginting (anti-Ahok) untuk mendukung kampanye mereka. Selebriti mikro adalah sosok yang memiliki motivasi politik dan menggunakan media sosial untuk mencitrakan jati diri pribadi serta posisi politis mereka dalam upaya menarik perhatian dan dukungan publik terhadap misi mereka.

Ada anggapan bahwa berita palsu dan bohong hanya berasal dari pihak kampanye anti-Ahok dan kampanye pro-Ahok bersifat rasional. Data penelitian saya menunjukkan bahwa kedua belah pihak sama-sama berkubang dalam politik pasca-kebenaran. Keduanya membingkai informasi dan cerita-cerita untuk menyentuh emosi tapi lalai terhadap fakta objektif dan abai akan informasi seputar kebijakan.

Pihak pro dan anti-Ahok, keduanya mengelola situs web yang menyajikan informasi sepihak. Walaupun situs-situs ini kebanyakan dibuat hanya beberapa bulan sebelum Pilkada, beberapa dari mereka, seperti situs pro-Ahok seword.com, dengan cepat meraup popularitas yang menyamai bahkan melampaui situs berita arus utama.

Beberapa situs bahkan secara sengaja menayangkan konten yang dikarang atau dipelintir. Misalnya, beberapa situs pro-Ahok adalah pelesetan dari situs Islamis dalam upaya mengecoh pembaca agar mereka yakin mereka sedang mengunjungi situs aslinya. Contoh termasuk arrahmahnews.com, yang merupakan pelesetan dari arrahmah.com, voa-islamnews.com alih alih voa-islam.com, dan pkspuyengan.com bukannya pkspiyungan.com.

Para pengujar kebencian membungkam suara alternatif

Selain tim kampanye, buzzer, dan selebriti-mikro, pengguna media sosial biasa juga berperan penting dalam kampanye. Walaupun bisa memberi ruang untuk kebebasan berekspresi, media sosial juga bisa menjadi ajang untuk bebas membenci. Ironisnya, pengguna media sosial berlomba mendaulat hak mereka sendiri untuk menyuarakan pendapat sembari membungkam suara-suara dari pihak yang berbeda. Iklim seperti ini menjadi lahan subur bagi narasi-narasi sektarian dan rasialis untuk bertumbuh.

Secara umum, percakapan dan interaksi antar pengguna media sosial tentang Pilkada ditandai dengan upaya-upaya pembentukan musuh bersama yang bisa dilihat dari penyematan label-label ejekan untuk lawannya.

Misalnya, tim anti-Ahok melabeli pendukung Ahok dengan istilah kasar seperti kafir, maksiat, haram, pembohong, penipu, bodoh, babi, dan kecebong.

Pendukung Ahok tak mau kalah dalam hal mengejek lawan mereka. Mereka melabeli lawan mereka sebagai tidak nasionalis (anti-Pancasila, anti-ke-Bhinneka-an, dan tukang makar); Muslim radikal (Wahabi, preman berjubah, takfiri, teroris, dan pendukung ISIS); anti-ilmu pengetahuan (bani koplak, kaum onta, kaum bumi datar, dan kaum sumbu pendek)

Polarisasi antar kedua kelompok ini begitu tajam dan menonjol sehingga menutupi keberadaan kelompok-kelompok lainnya. Banyak dari pemilih Ahok atau Anies yang bukan bagian dari dua kelompok ini. Sebagian warga Jakarta memilih Ahok karena prestasi-prestasinya meskipun tidak selalu sepakat dengan kebijakan-kebijakan dia. Sementara sebagian pemilih Anies adalah orang-orang yang terganggu dengan kebijakan Ahok yang dianggap pro-elite dan anti-orang miskin.

Tidak mudah bagi suara-suara alternatif untuk terekspresikan di media sosial. Dalam lingkungan yang terpolarisasi secara tajam, pendapat atau ekspresi yang kompleks, bernuansa, atau sekadar berbeda dari dua kelompok dominan ini, jarang sekali diterima dengan baik.

Di sini kita melihat pengejawantahan teori “the spiral of silence” atau “spiral kebisuan”. Teori ini menyatakan bahwa orang-orang yang merasa berada dalam kelompok yang pendapatnya lebih berpengaruh, misalnya anggota kelompok pro- dan anti-Ahok, akan lebih berani menyampaikan pendapat mereka secara publik. Sementara mereka yang menganggap pendapatnya kurang atau tidak berpengaruh, akan memilih diam untuk menghindari ancaman atau sanksi sosial, pengucilan, dan konflik.

Kantong algoritmis dan nasionalisme kesukuan dunia digital

Beberapa pengamat berpendapat bahwa algoritme menentukan jenis informasi yang disajikan pada pengguna media sosial berdasarkan ketertarikan sang pengguna itu sendiri. Dalam hal ini, pengguna media sosial cenderung masuk ke “filter bubble” atau “gelembung penyaring” di mana mereka berinteraksi dengan informasi yang serupa dan menyekat mereka dari pandangan-pandangan yang beragam.

Namun, pengamatan saya menunjukkan bahwa pengguna di Indonesia biasanya memiliki jaringan kontak yang besar dan beragam (kadang lebih dari 1.000 “teman”), yang membukakan mereka pada berbagai rupa diskusi. Tetapi, bagi pengguna media sosial yang anti- atau pro-Ahok, informasi yang bertentangan justru menegaskan sudut pandang mereka sendiri. Lebih jauh, hal ini malah mempertajam hubungan permusuhan yang mereka pupuk dengan lawannya.

Dinamika ini melanggengkan pembentukan sesuatu yang saya namakan “algorithmic enclave” atau “kantong algoritmis”. Kantong-kantong algoritmis terbentuk ketika sekelompok individu, didorong oleh interaksi yang terus menerus dengan algoritme, berupaya membentuk identitas online bersama, untuk saling berbagi, membela keyakinan mereka, dan melindungi sumber daya mereka dari ancaman, baik yang hakiki maupun yang majasi.

Algoritme itu sendiri tidaklah menentukan pembentukan kantong-kantong ini. Bukan informasi yang berfungsi membentuk dan mempertajam perbedaan antar kantong, melainkan bagaimana informasi tersebut dibagikan, didiskusikan, dan dibenturkan dengan opini dan keyakinan bersama secara rutin antar anggota dalam kantong.

Dalam kantong-kantong algoritmis ini, pengguna media sosial seringkali menyerukan slogan terkenal “NKRI harga mati”, mantra yang kerap digunakan rezim Orde Baru untuk menekan ideologi lawan. Slogan ini dipakai untuk mengklaim dan melegitimasi “tribal nationalism” atau “nasionalisme kesukuan” mereka sendiri sekaligus menyingkirkan kesetaraan dan keadilan bagi yang lainnya.

Lewat kasus Pilkada di Jakarta, kita bisa mengamati dampak penggunaan media sosial dalam kampanye politik yang bersifat komersial dan mengandalkan pemasaran dan pencitraan. Media sosial dan kampanye yang disetir pasar memperdalam jurang antar kelompok sosial dan mempertajam permusuhan dan intoleransi satu sama lain.


The ConversationArtikel ini adalah ringkasan yang disunting dan diterjemahkan dari “Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia” di Critical Asian Studies.

Merlyna Lim, Canada Research Chair in Digital Media & Global Network Society, Carleton University

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.