Pembangunan negara yang berkelanjutan adalah sebuah gagasan untuk menangani berbagai macam krisis sosial yang tengah melanda bangsa Indonesia. Berbicara mengenai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), tidak akan pernah bisa terlepas dari pembahasan beberapa hal berikut: Sumber Daya Manusia, pengelolaan aset-aset nasional dan target pencapaian pembangunan nasional. Sumber Daya manusia mencakup kualitas SDM bangsa Indonesia itu sendiri beserta semua upaya-upaya untuk meningkatkan kulaitas SDM itu sendiri, pengelolaan aset-aset nasional meliputi aspek pengelolaan sumber daya alam beserta seluruh potensi ekonomi yang lainnya, sedangkan target pencapaian pembangunan nasional pada umumnya tertuang dalam renstra (rencana strategis) pembangunan nasioanal yang diimplementasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia. Ketiga aspek itu tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, faktor pertama dikenal sebagai modal dasar atau input, yang kedua dikenal sebagai proses dan yang ketiga dikenal sebagai outcome atau parameter untuk menentukan tingkat keberhasilan pembangunan nasional.
Pemerintah dengan segala aparatur penyelenggara negara, mulai dari PNS, TNI, Polri, BUMN sampai aparat penegak hukum lainnya memiliki peran strategis sebagai pembuat kebijakan. Pembangunan negara memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Hakekat pembangunan adalah proses pembangunan yang memperhatikan terpenuhinya aspek-aspek pembangunan sumber daya manusia; yang terdiri dari : capacity (kemampuan untuk melakukan pembangunan), equity (pemerataan hasil-hasil pembangunan), empowering (pemberdayaan melalui pemberian hak atau wewenang untuk menentukan hal-hal yang dianggap penting) dan sustainable (kemampuan untuk hidup terus).[1] Praktek yang kemudian terjadi adalah pemerintah tidak bisa sendirian dalam melaksanakan program pembangunan, disinilah peran sektor ketiga menjadi penting untuk dilibatkan. Maka kemudian berkembanglah proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah, bisa berupa Lembaga nirlaba, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun inisiatif kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri. Hal ini menjadi lumrah karena situasi dan fluktuasi politik di Indonesia selama ini cenderung menciptakan pola pembangunan terputus, berganti pemimpin atau rejim maka berganti pula corak pembangunan nasional. Masyarakat, dalam tataran praktis kadang menjadi apatis terhadap perubahan kebijakan yang terjadi, maka kebutuhan pemberdayaan masyarakat agar mereka mampu mandiri dan menginisiasi diri sendiri untuk terus membangun mutlak dilakukan.
Kita semua paham bahwa tujuan utama pembangunan nasional adalah menciptakan kesejahteraan sosial di Masyarakat. Pemerintah dan Masyarakat hendaknya saling mendukung semua upaya untuk mewujudkan kesejahteraan ini. Aneka program pemberdayaan yang dirancang oleh banyak pihak juga semata-mata untuk mendukung program mewujudkan kesejahteraan ini. Sejauh ini dapat dikatakan proses pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara seimbang, dapat dinyatakan belumlah tercapai. Hal tersebut didasarkan pada kondisi sebagai berikut : (1) decision maker masih berada di tangan pemerintah sepenuhnya tanpa diimbangi mekanisme keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap perumusan kebijakan dengan optimal, (2) keberpihakan pemerintah cenderung kepada pihak swasta dibandingkan meningkatkan kemampuan masyarakat, (3) kebijakan yang bersifat seragam untuk semua daerah dan mengesampingkan local knowledge atau kearifan lokal, dan (4) orientasi pembangunan semata-mata mencapai pertumbuhan ekonomi. Empat kondisi tersebut mengakibatkan : (1) iklim pembangunan yang tercipta tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berkembang, (2) terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan (3) masyarakat semakin tidak berdaya terhadap pemerintah dan pihak swasta. Dengan bahasa yang sederhana, pelajaran yang didapat dari pemerintahan Soekarno hingga putrinya, Megawati Soekarnopurti, adalah konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma pembangunan ideal belum dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya. Ketidakmampuan pemerintah dan pihak swasta dalam melayani masyarakat untuk mencapai peningkatan kesejahteraannya secara riil; yang ditunjukkan dengan tidak adanya jaminan bagi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan pokoknya; telah mendorong timbulnya pergeseran peranan lembaga yang melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Yang semula (baca: seharusnya) didominasi oleh peran pemerintah dan pihak swasta, sekarang telah diambil (lagi) sebagian oleh masyarakat itu sendiri secara swadaya. Pergeseran tersebut merupakan sebuah proses interaksi evolusif yang bersifat natural, yang mau-tidak mau harus diambil oleh masyarakat untuk merespon berbagai bentuk tekanan sosial-politik-ekonomi yang datang dari luar; sebagai akibat dari tidak berkesinambungannya kebijakan pemerintah.[2] Fakta ini semakin menegaskan bahwa Negara belum mampu menjangkau secara mendalam aspek memandirikan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya.
Pemaparan diatas akan berkorelasi dengan masih tingginya angka kemiskinan di Masyarakat Indonesia dewasa ini. Dinamika pembangunan nasional dan pengembangan wilayah ternyata tak selamanya menimbulkan efek positif terhadap sosiokultural sebuah masyarakat. Sekali lagi ditegaskan, mewujudkan kesejahteraaan masyarakat adalah target utama pembangunan nasional, sekaligus dijamin dalam konstitusi negara Indonesia. Selama ini Indonesia telah menempuh berbagai macam strategi pembangunan sejak Indonesia merdeka tahun 1945, cukup banyak capaian positif, meskipun masih banyak persoalan bangsa ini yang belum terselesaikan. Pertumbuhan ekonomi nasional kita memang menunjukkan grafik positif, namun tetap menyisakan persoalan yang mesti diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan.
Persoalan kemiskinan ini selalu menjadi persoalan krusial siapapun yang menjadi pemimpin bangsa ini, hal ini wajar mengingat masalah kemiskinan hampir dihadapi dan ditempuh oleh semua bangsa di dunia. Permasalahan kemiskinan ini merupakan permasalahan multidimensi, perlu pendekatan dari banyak aspek untuk mengatasi persoalan ini. Data BPS per September 2012 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 28,59 juta orang atau 11,66 % penduduk nasional, dengan prosentase 63,25 % penduduk miskin tinggal di pedesaan dan 36,75 % tinggal di perkotaaan. Hal ini ditambah kenyataan bahwa terjadi ketidakmerataan sebaran penduduk miskin dimana dominan di pulau Jawa (mencapai 15 juta jiwa). Meskipun begitu ketika dibuat persentase kesenjangan kemiskinan antar wilayah, dengan asumsi persentase penduduk miskin provinsi terhadap persentase penduduk miskin nasional, maka Papua menempati peringkat teratas sebesar 31,11 % dan terendah adalah DKI Jakarta sebesar 3,69 %. Hal ini mempertegas fakta bahwa kemiskinan di Indonesia telah menciptakan kesenjangan baik antar golongan penduduk ataupun pembangunan antarwilayah. Jika ditinjau lebih jauh, ekses kemiskinan yang paling dirasa dampaknya di masyarakat adalah terkait buruknya layanan pendidikan, kesehatan dan ketahanan pangan. Hal ini terjadi di wilayah yang merupakan kantung-kantung kemiskinan.
Hal ini menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan klaim pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi yang positif, serta peran global Indonesia di tataran internasional, Namun secara sosiokultural dimasyarakat nyaris tidak merasakan dampak secara nyata. Kemajuan ekonomi masih belum bisa merata dirasakan oleh masyarakat di wilayah Indonesia. Kenyataan lain adalah sektor agraria yang melibatkan petani merupakan salah satu sektor kronis yang tidak berimbang terhadap masyarakat kecil. Hingga kini petani juga dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti: dililit berbagai masalah kemiskinan; ketidakpastian harga hasil pertanian; tataniaga perdagangan pangan dan liberalisasi yang mengancam keamanan usaha pertanian petani kecil; harga dan pasokan bahandan alat untuk berproduksi, serta ketidakpastian cuaca[3]
Petani juga dihadapkan pada berbagai aturan yang membebani mereka untuk berproduksi dan memperdagangkan produknya secara mandiri,seperti: peraturan tentang sertifikasi yang membebani petani kecil;dan berbagai aturan pembatasan untuk penjualan produk hasil pertanian[4]. Melihat kenyataan ini maka lantas kita berfikir apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama pembangunan bangsa ini ? Meningkatkan produktifitas ekonomi nasional lewat inisiasi liberalisasi ekonomi, dengan konsekuensi merusak tatanan sosial di masyarakat, ataukah menciptakan tatanan sosial masyarakat mandiri yang berkecukupan, sejahtera dan tanpa konflik lewat program-program pemerintah ? Tak akan pernah ada jawaban pasti, selama kebijakan nasional tidak dilandasi keberpihakan pada rakyat dan hanya menguntungkan para elit pemerintahan saja. Kesenjangan antar wilayah telah menciptakan kecemburuan sosial yang mengancam kesatuan nasional dan memicu disintegrasi bangsa. Kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah masih banyak yang berupa kebijakan populis dan tidak menyentuh akar permasalahan dimasyarakat.
[1] Riswandha Imawan, 1990.Menciptakan Birokrasi yang Responsif untuk Pembangunan Martabat Manusia. Gadjah Mada Press Yogyakarta
[2] Bhagaskara.2011.Pemberdayaan Masyarakat : antara Negara, LSM dan NGO.Blog Pribadi: http://bagasaskara.wordpress.com
[3]The Indonesian Institute. Indonesia Report 2012.
[4]Ibid