Breaking News

Revitalisasi Sistem Proteksi Sosial Berbasis Islam Dalam Konteks Pembangunan Bangsa Yang Berkelanjutan (Bagian 2)

"kemiskinan-kota-jakarta"

Sebelum membahas lebih jauh tentang zakat dan peran penting dalam sistem proteksi sosial, Sejenak mari kita berkaca pada sejarah bangsa Indonesia, ketika dahulu Bung Karno sebagai founding father negeri ini menggagas adanya Nations and Character Building sebagai sebuah usaha untuk membangun wawasan kebangsaaan pada tiap diri warga negara Indonesia maka hal itu dapat dipahami sebagai sebuah langkah dasar untuk mewujudkan identitas kebangsaan yang penting. Identitas kebangsaan atau wawasan kebangsaan ini menjadi penting sebagai pijakan pembangunan bangsa. Jika dikomparasikan dengan Visi Pembangunan Pemerintah Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005– 2025. Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah: ”Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Bagaimanakah sekarang implementasi di lapangan? Belum sepenuhnya memuaskan.

Andrinof Chaniago dan tim, dalam Visi Indonesia 2033 pernah menyampaikan bahwa arah pembangunan jangka panjang yang tertuang didalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007, nampak tidak jelas.‰Risiko besar tadi hadir karena:ƒ perekonomian tidak diarahkan ke knowledge based economy,ƒ secara struktur sosial-ekonomi, ekonomi yang tidak knowledge based tadi digelayuti oleh mayoritas masyarakat yang daya belinya lemah meskipun Pemerintah selalu tahu bahwa pertumbuhan PDB yang 63% bergantung kepada konsumsi masyarakat,ƒ Daya dukung lingkungan dan lahan untuk kemandirian pangan makin berkurang,ƒ Sektor keuangan dan permodalan yang terus tumbuh tidakmenggerakkan sektor riil dan lapangan kerja, namun setiap sektor ini terguncang selalu berdampak buruk terhadap sektor riil. Ekspor nasional didominasi oleh ekspor korporasi dan oleh sektor ekstraktif yang minim penyerapan tenaga kerja, sehingga,peningkatan ekspor nasional tidak memberikan kontribusi secara langsung dalam penyerapan tenaga kerja dan pemerataan kesejahteraan,‰Sementara, industri yang 80% terkonsentrasi di Jawa, memiliki risiko jangka panjang yang bisa membuat ekonomi tiba-tiba terpuruk, ditambah ‰Liberalisasi (dalam beberapa sektor strategis) yang hanya meningkatkan kinerja mikro korporasi, tetapi tidak meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, dalam sektor tertentu, misalnya perbankan, penetrasi asing malah memperlambat fungsi intermediasi dalam rangka menggerakkan roda perekonomian.

Belajar dari banyak kesempatan yang hilang, modal yang hilang,dan alokasi belanja publik yang tidak tepat, Indonesia harus mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain dengan mengusahakan terjadinya akselerasi pertumbuhan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakatnya;Modal dasar yang diperlukan untuk itu adalah: mengubah pola pikir (mind set),mengubah konsep dan strategi hingga cara implementasi pembangunan serta didukung oleh kepemimpinan progresif yang visioner yang terbingkai oleh kelembagaan (aturan main) yang mapan, Dalam menghadapi persaingan global yang makin ketat, Indonesia membutuhkan Strategi Industrialisasi untuk mewujudkan knowledge based economy yang berwawasan lintas kelompok sosial, lintas wilayah dan lintas sektor ekonomi.[1]

Sudah sangat banyak pakar yang menyampaikan gagasannya seputar visi pembangunan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat, Sekarang bagaimanakah ajaran Islam memandang solusi atas permasalahan ini. Islam telah mengatur beberapa upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial di masyarakat. Inti utama dari strategi ini adalah munculnya kesadaran dikalangan masyarakat untuk saling membantu dan mempengaruhi satu sama lain, detail teknisnya akan diuraikan belakangan. Gagasan ini digali dari nilai-nilai dasar keislaman tentang sistem jaring pengaman sosial Islam. Gagasan ini secara praktis akan melawan gagasan ekonomi liberal yang diusung oleh ekonom kontemporer seperti Milton Friedman dan Douglas North, mereka menyatakan bahwa masyarakat bebas yang kemudian melahirkan ekonomi yang bebas dan berbasis pasar-jauh lebih produktif secara ekonomi dibandingkan metode-metode lain yang mengatur aktivitas ekonomi.

Para pembela pasar bebas yakin, bahwa sistem pasar bebas akan melahirkan persaingan antar pelaku ekonomi. Persaingan akan mendorong lahirnya berbagai ide inovatif, yang akhirnya mengarahkan manusia dalam kehidupan yang lebih sejahtera. Ini dimungkinkan karena pasar bebas berorientasi pada insentif, upaya untuk peningkatan produktivitas, dan penggunaan sumber daya yang efektif, sehingga cenderung membawa manfaat bagi konsumen.[2] Celakanya sekarang gagasan inilah yang cenderung dipakai dalam regulasi ekonomi nasional. Gagasan ekonomi kerakyatan yang dulu digagas oleh pakar ekonomi seperti almarhum Prof. Mubyiarto lambat laun semakin kehilangan gaungnya. Apakah benar sistem ini tepat dijalankan di Indonesia? Sebelum menjawabnya kita perlu memahami sebaran penduduk Indonesia yang terbagi antara desa dan kota. Secara sosiokultur kota itu rapuh dan individualis, namun memiliki sumber daya finansial dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, sehingga orang-orang kaya dengan finansial mencukupi banyak terdapat di kota. Sebaliknya, desa itu secara sosiokultur relatif stabil, rasa kebersamaan masih dimiliki, namun pertumbuhan ekonomi rendah, sehingga kemiskinan lebih banyak ditemui didesa. Bagaimanakah dampak kebebasan ekonomi  selama ini ? Alih alih menciptakan pemerataan pembangunan yang berkeadilan kawasan desa dan perkotaan, yang ada justru liberalisasi pedesaan dengan mengorbakan norma-norma luhur sosial budaya yang ada disana, rawan konflik agraria, dan penurunan luas lahan pertanian. Aspek pengembangan wilayah yang tidak stabil inilah yang menyebabkan muncul ekses dalam kehidupan sosial dimasyarakat.

Melihat fenomena diatas jika dikembalikan dalam ajaran Islam maka akan bertemu sebuah titik cerah sebagai solusi. Islam telah mengatur sebuah sistem jejaring pengaman sosial lewat risalah Ziswaf (Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf). Sistem ini jika diimplementasikan adalah jaminan atas kepemilikan harta individu dan pendistribusiannya. Hal ini (kepemilikan harta dan distribusi) merupakan salah satu pemicu konflik sosial di masyarakat. Risalah ziswaf ini menyebabkan adanya kesadaran untuk saling menjamin antara si kaya dengan si miskin, lewat charity giving  berbasis mekanisme perimbangan keadilan sosial. Lebih jauh sistem ini adalah bahan bakar pembangunan masyarakat dengan asas “dari mereka untuk mereka”, dan konsep ini telah digariskan sejak 15 abad yang lalu. Maka di era kontemporer ini revitalisasi konsep Ziswaf dalam langkah pembangunan masyarakat berkeadilan merupakan solusi atas diskursus sistem ekonomi global yang tidak menentu dan tidak memberikan ruang bernafas bagi kaum marjinal. Kenapa demikian ? Hal ini menjadi mudah dimengerti dengan membedah salah satu konsep Ziswaf, yaitu Zakat. Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah memiliki harta mencapai nishab (batas minimal jumlah harta wajib zakat ) dan memenuhi haul ( batas minimal lama kepemilikan harta), sejatinya harta itu bukan milik mereka dan harus dikeluarkan kepada yang memerlukan, lazimnya disebut Mustahik yang berjumlah 8 Golongan. Sistem ini menjamin orang-orang miskin atau kalangan dhuafa dapat dibantu, bahkan harus dibantu oleh orang-orang kaya yang berzakat. Mekanisme penyalurannya pun sudah jelas dan tegas, hanya untuk  mustahik, dalam bahasa ekonomi modern disebut earmarked budgeting. Bahkan jika ditelaah lebih jauh Zakat tidak hanya merupakan sebuah sistem ekonomi, namun juga sistem sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Sebab jika Zakat dikelola dengan baik maka ia akan meredam potensi konflik sosial di masyarakat, sekaligus menginisiasi sebuah kontruksi bangunan masyarakat sipil yang berkeadilan, dari sinilah maka stabilitas politik dalam bingkai  negara akan terwujud juga

[1] Andrinof Chaniago. 2010. Visi Indonesia 2033

[2]Nawa Poerwana Thalo, Kebebasan Ekonomi Indonesia:Tinjauan Perkembangan Terkini, Jakarta: The Indonesian Institute,2007 hal. 1